Sabtu, 20 September 2025
Kamis, 21 Agustus 2025
Pengalaman Menginap di Hotel Surabaya River View
Jika pertama kali ke Surabaya agendanya anter si kakak daftar kuliah, kali kedua aku menginjakkan kaki ke Kota Pahlawan itu dalam rangka liburan yang "maksa". Gimana gak maksa, semalam tok di Surabaya, yang dengan perjalanan jadi 3 malam. Cerita lengkapnya ada di tulisan Short Trip ke Surabaya ya. Semalam di Surabaya kali ini aku menginap di hotel Surabaya River View.
Aku pilih booking kamar di Surabaya River View dengan berbagai pertimbangan. yaitu: karena letaknya di Surabaya pusat, strategis ke mana-mana, 5 menit jalan kaki ke Jl. Tunjungan yang banyak jajanan, ada family room, dan rate-nya masih masuk budget.
Ritual Booking Hotel
Ada kebiasaan yang selalu aku lakukan setiap mau booking hotel. Sedikit ribet tapi wajib dilakukan, agar hati puas dan tenang. Ini dia ritualnya:
1. Cek lokasi. Dari Google Map, bisa terlihat dan dipilih hotel-hotel di sekitaran wilayah yang mau kita tuju.
2. Cek harga. Dari hasil searching lokasi, disortir beberapa hotel yang masuk budget yang mana. Ini dapat dilakukan lewat salah satu aplikasi booking hotel untuk ngeceknya.
3. Cek ulasan. Review dari Google, review dari beberapa aplikasi hotel, semuanya dibacain. Ya memang gak semua review itu real, banyak juga yang fake. Makanya aku akan cek juga ulasan/testimoni negatifnya. Kalau ada yang gak sreg itu biasa, karena hampir semua ada plus minusnya. Tapi aku akan cari yang minusnya masih bisa ditolerir. Di sini aku juga akan mempertimbangkan rekomendasi yang pernah aku baca, misalnya dari temen-temen blogger yang pernah nulis review tentang hotel di sekitar lokasi.
4. Cek fasilitas dan kamar sesuai kriteria yang diinginkan. Seperti saat aku ke Surabaya ini, aku berencana cari family room supaya bisa sekamar bertiga. Tapi kalaupun gak ada, aku akan cari yang kamarnya luas dengan nambah extra bed.
5. Membandingkan harga. Nah dari 4 tahap di atas, biasanya mengerucut pilihannya tinggal 2-3 hotel, sehingga tahap terakhirnya adalah membandingkan harga di beberapa aplikasi booking hotel. Aku tak akan terkecoh dengan harga awal yang lebih murah di satu aplikasi, karena seringkali harga itu belum termasuk pajak dan biaya lainnya.
Sejujurnya proses ritual booking alias riset hotel ini lumayan panjang ya, gak bisa sejam/2 jam langsung selesai. Tapi ini hal penting yang harus dilakukan.
Wakakak.. nginep semalem doang ribet amat yak. Gimana seandainya aku harus go show cari hotel dalam perjalanan, misalnya?
Aku tetep riset dong... sebisanya, sesempatnya. Riset yang paling minimal adalah call a friend yang tinggal di daerah sekitar, minta rekomendasi atau saran.
So, kalau ada yang butuh jasa riset hotel atau lainnya, boleh DM aku yaa 😆
Review Hotel Surabaya River View
Pukul 13.45 kami tiba di hotel untuk check in. Sebelum ke hotel, aku sempat menelpon resepsionis hotel untuk bertanya apakah bisa early check-in, tapi dijawab tidak bisa karena kamar belum siap. Ya sudah, kami pas-pasin aja datang menjelang pukul 14.00.
Ada komentar lucu dari driver taksol yang mengantar kami menuju hotel dari Kota Lama. Katanya, hotel Surabaya River View (SRV) itu hotel paling ekstrem di Surabaya. Tau kenapa? Itu karena jalan masuk kendaraan ke lobinya sempit, menanjak dan menukik tajam. Haha... Tapi ini sudah aku bayangkan saat cek review hotel, karena ada yang komen tentang jalan menanjak itu.
Dengan model jalan yang ekstrem itu, kupikir hotel ini tidak cocok sama sekali untuk lansia atau disabilitas. Tapi ternyata mereka punya akses khusus untuk pengguna kursi roda, yang bisa naik turun dengan mesin, posisinya di kiri tangga masuk. Ya oke juga sih, cuma kalau gak pakai kursi roda tetap agak repot karena harus melewati beberapa anak tangga tinggi untuk masuk lobinya.
Jalan ekstrem menuju lobi. Ada aja mobil yang gak kuat nanjak😀 |
Proses check in di hotel bintang 3 ini cepat, mungkin karena saat itu tidak ramai tamu. Lobinya bersih, dengan 2 sofa berwarna pink fuchia di sudut yang berbeda. Ada beberapa orang duduk di sofa lobi, yang sepertinya sedang menanti jemputan. Dari lobi ini bisa tampak area restoran yang memang posisinya di lantai lobi.
Lobi hotel |
Aku datang, menuju meja resepsionis, menunjukkan tiket booking dan KTP, lalu diminta menunggu sebentar. Tak lama namaku dipanggil dan diberikan kunci kamar. Oh ya karyawan hotel juga sigap dan helpfull, menawarkan bantuan membawa tas mulai dari kami turun dari mobil.
Kami langsung menuju kamar yang terletak di lantai 8. Ternyata kami dapat kamar di pojokan. Untuk menuju pintu kamarnya harus melewati lorong kecil seperti gang, selebar kusi roda deh. So kalau ada tamu pake wheelchair, ya ngepas. Hehe.. Ajaib juga ini layout ruangannya. Begitu pintu dibuka, jeng jeng... gelap. Iyalah belum masukin kartu akses wkwk...
Family room di hotel SRV sungguh sesuai ekspektasi. Luasnya 33 m² lho. Ada 1 single bed + 1 queen bed, Ada 1 sofa panjang merah empuk yang bisa tuk tidur juga. Jadi, sebetulnya bisa muat 4 orang dengan properti yang ada. Meja dan kursi ada dekat jendela, dan masih banyak space ruangan kosong sehingga bisa leluasa gelar sajadah atau bahkan nambah 2-3 extra bed jika diperlukan. Pemandangan dari jendela room ini adalah city view yang tampak gemerlap lampu kota Surabaya pada malam hari.
Kamar yang luas |
Sofa bisa tuk selonjoran atau tidur |
City view dari kamar |
Fasilitas Hotel
AC ruangan dingin, WIFI cukup kencang dan ada kulkas kecil yang berfungsi baik. Depan tempat tidur ada TV yang sayangnya hanya ada beberapa saluran TV nasional yang jelas, Beberapa saluran lainnya banyak semutnya 😆. Tapi gak terlalu penting soal TV ini ya, karena di kamar hotel lebih banyak tuk istirahat.
TV dengan saluran terbatas 😊 |
Fasilitas hotel SRV yang perlu diacungi jempol adalah rooftop pool. Tak banyak hotel bintang 3 yang menyediakan kolam renang, sedangkan di hotel ini ada kolam renang di rooftopnya. Selain berenang, dari rooftop lantai 12 ini kita bisa lihat pemandangan kota yang keren, sampai bisa menyaksikan sunset di langit yang cantik. Empat jempol deh.
Rooftop pool |
Nonton sunset dari pool |
Kesimpulan
Secara keseluruhan, aku puas nginep semalam di Hotel Surabaya River View. Family room dengan breakfast bertiga ini aku dapat di harga Rp800 ribuan booking via Agoda. Worth for money dari segi lokasi, kenyamanan dan fasilitas.
Ada yang samaan pernah nginep di sini?
Jumat, 18 Juli 2025
Review KA Gumarang Eksekutif Jakarta-Surabaya
Saat short trip ke Surabaya akhir Juni lalu, aku berangkat naik Kereta Api Gumarang. Kereta yang dipilih jadwal berangkatnya malam hari pukul 21.30 dari Stasiun Jakarta Pasar Senen dan tiba di Stasiun Surabaya Pasar Turi pukul 07.58, atau 10 jam 28 menit. Sengaja pilih jadwal ini supaya pas sampai Surabaya bisa langsung jalan-jalan, tidak kepagian atau terlalu "subuh" seperti beberapa jadwal lainnya.
Interior KA Gumarang
Perjalanan dan Kesan
Selasa, 01 Juli 2025
Cerita Short Trip ke Surabaya
Perjalanan ke Surabaya
Jalan-jalan Seputar Surabaya Pusat
1. Ke Monumen Kapal Selam
|
Pintu antar ruang - ada yang harus menunduk untuk lewat situ. Tiga kali lewatin pintu bulat itu, ampun deh kalo orang tua sih susah pasti |
Ruang Komandan - sempit hehe.. |
Ruang komunikasi, ruang mesin, sonar, bilik hitung, kamar mandi |
Periskop atau teropong kapal selam |
2. Ke Kota Lama Surabaya
3. Check in Hotel
4. Makan Malam di Resto AYCE
5. Ke Jl. Tunjungan
Halaman Museum Surabaya Siola |
Robot Barista "Omron" |
6. Ke Pusat Oleh-oleh Bu Rudy sebelum Pulang
Minggu, 01 Juni 2025
Review Film Final Destination: Bloodlines – Nostalgia Ngeri dengan Twist Baru
Malem minggu, aye pergi ke bioskop... (lanjut nyanyi sendiri deh hihihi).
Akhirnya, setelah sekian lama, film thriller legendaris Final Destination comeback lagi dengan judul Final Destination: Bloodlines. Aku semangat dong, nonton di bioskop berdua anak (tenaang.. ini anaknya udah punya KTP kok). Semangat, bukan semata karena filmnya sih, tapi karena tiketnya Buy One Get One di Cinepolis hahaha (sponsored by Jenius).
Kalau kalian dulu tumbuh bareng film-film ini sambil tutup mata pas adegan “kematian berantai” dimulai, siap-siap nostalgia.
Sinopsis (bukan spoiler)
Cerita Bloodlines ini bukan kelanjutan dari film sebelumnya, tapi semacam latar belakang yang mengulik asal-usul mengapa kematian bisa begitu kejam dan terorganisir.
Tokoh utamanya adalah Stefani Reyes, seorang mahasiswi pintar di kelasnya. Eh kok jadi inget Nasa si mahasiswi di cerbung itu... 👀
Ceritanya Stefani terus menerus dihantui mimpi buruk tentang kecelakaan di era jadul yang tidak pernah dia pahami, sampai ganggu tidur dan bikin kacau kuliahnya. Mimpi itu membawanya kembali kepada keluarga, bertemu dengan nenek yang tak pernah ia temui sebelumnya, serta menggali rahasia kelam keluarganya sendiri.
Dari situ cerita khas Final Destination dimulai. Satu per satu keluarganya mulai tewas dalam kejadian aneh, brutal, dan penuh "pertanda" seperti biasanya.
Btw, dibandingkan 5 film sebelumnya, ada yang berbeda di film Final Destination terbaru, yaitu adanya benang merah di masa lalu, ada sesuatu yang diwariskan pada silsilah keluarga Stefani. Di sinilah judul "Bloodlines" mulai terasa maknanya.
Jika mengikuti seluruh film Final Destination (FD) sebelumnya, kecelakaan yang "seharusnya" merenggut maut korban sejak awal kejadian bisa dirangkum sebagai berikut:
- Final Destination (2000): kecelakaan pesawat
- Final Destination 2 (2003): kecelakaan di jalan melibatkan truk pembawa batang kayu
- Final Destination 3 (2006): kecelakaan roller coaster
- The Final Destination (2009): kecelakaan lintasan balap
- Final Destination 5 (2011): runtuhnya jembatan gantung
- Final Destination: Bloodlines (2025): runtuhnya menara skyview.
Kalau kalian, dari film FD pertama sampai kelima, mana yang paling nyatol di memori? Aku sih FD 2 dan FD 5, yang jadi bikin waspada di jalanan dan paling gelisah kalo sedang naik mobil dengan posisi ada di belakang truk barang 😖. Tapi gak tau sih, apakah itu karena efek filmnya, atau karena sering tayang di TV dan ditonton berulang-ulang heheh..
Dan ternyata, si batang kayu itu nongol lagi di episode Bloodlines 😵💫.
Pemeran Utama
- Kaitlyn Santa Juana sebagai Stefani Reyes
- Teo Briones sebagai Charlie Reyes, adik laki-laki Stefani
- Richard Harmon sebagai Erik Campbell, sepupu Stefani
- Owen Patrick Joyner sebagai Bobby Campbell, sepupu Stefani
- Rya Kihlstedt sebagai Darlene Campbell, ibu Stefani
- Anna Lore sebagai Julia Campbell, sepupu Stefani
- Brec Bassinger sebagai Iris Campbell muda, nenek Stefani
- Tony Todd (alm) sebagai William Bludworth, karakter ikonik pengurus rumah duka dari seri-seri sebelumnya.
Aku baru tau setelah film berakhir, kalau ternyata FD Bloodlines adalah film pamungkasnya Tony Todd. Ia syuting dalam keadaan sakit, atas permintaannya sendiri. Aktor pemeran film Candyman itu meninggal dunia pada 6 November 2024 silam karena kanker perut dalam usia 69 tahun.
"Hidup itu berharga. Nikmati setiap detiknya. Anda tidak pernah tahu kapan... Semoga beruntung." - Tony ToddQuotes itu mengharukan, karena kabarnya merupakan improvisasi dari Tony Todd sendiri, di luar skenario.
FD Bloodlines disutradarai oleh Zach Lipovsky dan Adam B. Stein yang dikenal sebagai sutradara film Freaks. Film produksi New Lines Cinema ini produsernya adalah Craig Perry – produser veteran dari seluruh seri Final Destination.
Kesimpulan
Film Final Destination : Bloodlines, terasa berbeda plot dari seri sebelumnya. Ceritanya bukan cuma nunggu siapa yang dijemput maut duluan, tapi juga mikir: “apa ada cara buat ngelawan takdir?” Tapi intinya sama dengan film-film sebelumnya, yaitu : kematian tidak suka diganggu.
Ada beberapa humor receh di sela film ini, yang menurutku sih gak perlu ya karena mengganggu ketegangan. Tapi secara keseluruhan tetap seru ditonton.
Buat yang perdana nonton Final Destination, film FD Bloodlines ini bisa banget jadi pintu masuk merasakan atmosfer kelam khas seri ini, bagaimana kematian datang dengan cara "kreatif".
Dan, di balik semua kebrutalan yang dihadirkan, terselip pesan, jangan meremehkan hal-hal kecil dalam hidup.
Siapa yang udah nonton?
***
Jumat, 23 Mei 2025
Ada Titik Merah di Matanya (Bagian 3)
Baca episode sebelumnya : Bagian 1 dan Bagian 2
Rumah yang Tidak Pernah Dibangun
Setelah malam itu, suasana kampus Teknik Arsitektur perlahan berubah. Studio belakang tetap dikunci, tapi tak ada lagi hawa dingin yang menyergap setiap mahasiswa yang lewat. Para dosen pun tampak lebih ringan langkahnya, seolah satu lapisan kabut tak kasat mata yang selama ini menyelimuti ruangan-ruangan tua itu akhirnya terangkat.
Vira dan Rere, yang dulu hanya melihat Nasa sebagai "mahasiswi baru aneh", kini melihat sosok yang berbeda. Mereka tahu Nasa bukan sekadar mahasiswa baru biasa yang sesekali diam dan sesekali tertawa. Ia adalah seseorang yang selama ini membawa luka, menyembunyikannya di balik garis-garis sketsa arsitektural, dan menguncinya dalam senyum palsu yang hanya muncul untuk menenangkan orang lain. Di balik semua itu, ia adalah anak perempuan yang belum benar-benar melepaskan ibunya.
Hari-hari berikutnya diisi dengan hal-hal kecil yang bermakna. Nasa mulai lebih sering duduk di tengah keramaian. Ia tidak lagi menarik diri ke tangga musholla saat senja, tapi ikut membantu Mas Didi, OB pengganti Alm. Mas Oboy, mengangkat gelas-gelas plastik bekas ke tempat sampah. Sesekali, ia bahkan bercanda. Candaan yang tidak menyeramkan, tapi hangat.
Namun bukan berarti semuanya kembali normal begitu saja. Di malam-malam tertentu, Vira masih mengaku mendengar suara langkah kaki di lorong studio belakang, padahal seharusnya tak ada siapa-siapa. Rere sendiri masih bermimpi berada di ruangan kosong dengan lampu redup, meski kini tidak ada lagi bayangan Nasa bermata merah.
Tapi mereka semua belajar menerima, bahwa ada hal-hal yang tidak bisa sepenuhnya dijelaskan. Ada luka yang tidak akan benar-benar sembuh, melainkan hanya berdamai. Dan itu tidak apa-apa.
Suatu sore, mereka bertiga duduk di kantin, memandangi maket besar yang sedang disusun untuk pameran tugas akhir semester. Nasa membuka sketsa lama milik almarhum Mas Oboy—ya, ternyata Mas Oboy pernah iseng menggambar desain rumah impiannya. Rumah kecil dengan halaman luas dan satu jendela besar di ruang tamu.
Nasa menatap gambar itu lama, lalu berkata, “Aku pingin bangun rumah ini suatu hari nanti. Tapi bukan buat aku. Buat orang-orang yang enggak punya tempat buat pulang.”
Kalimat itu membuat Vira terdiam. Rere menatap Nasa dalam-dalam. Di situ, mereka sadar: Nasa tidak lagi hanya ingin menggambar bangunan. Ia ingin membangun tempat yang punya arti. Dan mungkin, di tengah semua horor yang pernah mereka alami, itulah yang paling menyentuh. Seorang gadis muda yang kehilangan arah, kini ingin menjadi arah bagi orang lain.
Kampus perlahan kembali hidup. Mahasiswa sibuk dengan deadline, dosen kembali galak, kantin mulai kehabisan kopi lagi. Tapi di balik semua itu, mereka yang tahu cerita Nasa menyimpan kisah itu di dalam hati. Cerita tentang seorang gadis yang matanya pernah menyimpan titik merah, tapi hatinya menyimpan cinta yang terlalu besar untuk disimpan sendiri.
Beberapa bulan kemudian, Nasa membuat desain bangunan untuk lomba arsitektur antar-universitas. Judul proyeknya: “Rumah yang Tak Pernah Dibangun”. Desainnya menyerupai rumah kecil dalam sketsa Mas Oboy, tapi dengan tambahan taman kecil di belakang dan satu ruang yang hanya berisi cermin, bunga putih, dan dinding penuh kutipan.
“Luka tidak selalu harus disembuhkan. Kadang cukup diterima, dipeluk, dan diberi tempat untuk tinggal.”,
Nasa tidak memenangkan lomba itu. Tapi desainnya dipajang di lobi kampus. Setiap mahasiswa yang lewat bisa membacanya. Dan bagi mereka yang tahu cerita di baliknya, itu bukan sekadar desain. Itu adalah monumen keheningan, kehilangan, dan harapan.
Pagi itu, Nasa menatap pantulan dirinya di cermin gantung di kamar kosnya. Tidak ada titik merah lagi di matanya. Kalau Rere tidak cerita padanya, Nasa sendiri tidak pernah sadar saat kehadiran titik merah itu beberapa bulan yang lalu.
Di depan cermin, Nasa sedikit terkaget, lalu diam.
Ia akhirnya mengingat semuanya.
Selama ini, Nasa berpikir dirinya hanya “melihat-lihat”, menjadi saksi pasif dari keanehan di kampus Arsitektur: Mas Oboy jatuh dari tangga, pak Darto tukang sapu yang menghilang sore-sore, sketsa kak Dimas yang hilang, serta Diba yang teriak-teriak histeris di toilet. Tapi ternyata, Nasa selalu ada di sana.
Bukan secara fisik. Tapi sesuatu dalam dirinya yang berpindah-pindah tanpa ia sadari. Ia pikir ia sedang di kamar ketika Mas Oboy terjatuh. Tapi Farrel temannya pernah bilang, “Lo sempat numpang ngeprint pagi itu di lantai atas, kan?” Nasa membantah, tapi flashdisk-nya ditemukan di printer lantai itu. Ia pikir ia tak pernah bertemu tukang sapu itu, tapi namanya pernah tercatat di laporan kejadian di TU: “Mahasiswi Nasa memberi tahu bahwa Pak Darto sempat muntah di dekat studio.” Dan seterusnya...
Nasa pikir ia hanya lupa.
Padahal, ia dipakai.
Titik merah itu... penanda perantara. Ada entitas penghuni kampus yang tak bisa menyentuh dunia nyata tanpa tubuh—dan ia memilih orang-orang yang “tidak terlihat": mahasiswa baru yang pendiam, yang sedih berkepanjangan, atau yang sering melamun sendirian. Seperti Nasa.
Nasa menunduk. Ia tahu ini bukan tentang memilih lagi.
Ini soal waktu, karena kampus itu belum selesai memilih korban berikutnya.
TAMAT.