Kamis, 21 Agustus 2025

Pengalaman Menginap di Hotel Surabaya River View

Jika pertama kali ke Surabaya agendanya anter si kakak daftar kuliah, kali kedua aku menginjakkan kaki ke Kota Pahlawan itu dalam rangka liburan yang "maksa". Gimana gak maksa, semalam tok di Surabaya, yang dengan perjalanan jadi 3 malam. Cerita lengkapnya ada di tulisan Short Trip ke Surabaya ya. Semalam di Surabaya kali ini aku menginap di hotel Surabaya River View. 


Aku pilih booking kamar di Surabaya River View dengan berbagai pertimbangan. yaitu: karena letaknya di Surabaya pusat, strategis ke mana-mana, 5 menit jalan kaki ke Jl. Tunjungan yang banyak jajanan, ada family room, dan rate-nya masih masuk budget. 

Ritual Booking Hotel

Ada kebiasaan yang selalu aku lakukan setiap mau booking hotel. Sedikit ribet tapi wajib dilakukan, agar hati puas dan tenang. Ini dia ritualnya:

1. Cek lokasi. Dari Google Map, bisa terlihat dan dipilih hotel-hotel di sekitaran wilayah yang mau kita tuju. 

2. Cek harga. Dari hasil searching lokasi, disortir beberapa hotel yang masuk budget yang mana. Ini dapat dilakukan lewat salah satu aplikasi booking hotel untuk ngeceknya. 

3. Cek ulasan. Review dari Google, review dari beberapa aplikasi hotel, semuanya dibacain. Ya memang gak semua review itu real, banyak juga yang fake. Makanya aku akan cek juga ulasan/testimoni negatifnya. Kalau ada yang gak sreg itu biasa, karena hampir semua ada plus minusnya. Tapi aku akan cari yang minusnya masih bisa ditolerir. Di sini aku juga akan mempertimbangkan rekomendasi yang pernah aku baca, misalnya dari temen-temen blogger yang pernah nulis review tentang hotel di sekitar lokasi. 

4. Cek fasilitas dan kamar sesuai kriteria yang diinginkan. Seperti saat aku ke Surabaya ini, aku berencana cari family room supaya bisa sekamar bertiga. Tapi kalaupun gak ada, aku akan cari yang kamarnya luas dengan nambah extra bed

5. Membandingkan harga. Nah dari 4 tahap di atas, biasanya mengerucut pilihannya tinggal 2-3 hotel, sehingga tahap terakhirnya adalah membandingkan harga di beberapa aplikasi booking hotel. Aku tak akan terkecoh dengan harga awal yang lebih murah di satu aplikasi, karena seringkali harga itu belum termasuk pajak dan biaya lainnya. 


Sejujurnya proses ritual booking alias riset hotel ini lumayan panjang ya, gak bisa sejam/2 jam langsung selesai. Tapi ini hal penting yang harus dilakukan. 

Wakakak.. nginep semalem doang ribet amat yak. Gimana seandainya aku harus go show cari hotel dalam perjalanan, misalnya? 

Aku tetep riset dong... sebisanya, sesempatnya. Riset yang paling minimal adalah call a friend yang tinggal di daerah sekitar, minta rekomendasi atau saran. 

So, kalau ada yang butuh jasa riset hotel atau lainnya, boleh DM aku yaa 😆

Review Hotel Surabaya River View

Pukul 13.45 kami tiba di hotel untuk check in. Sebelum ke hotel, aku sempat menelpon resepsionis hotel untuk bertanya apakah bisa early check-in, tapi dijawab tidak bisa karena kamar belum siap. Ya sudah, kami pas-pasin aja datang menjelang pukul 14.00.

Ada komentar lucu dari driver taksol yang mengantar kami menuju hotel dari Kota Lama. Katanya, hotel Surabaya River View (SRV) itu hotel paling ekstrem di Surabaya. Tau kenapa? Itu karena jalan masuk kendaraan ke lobinya sempit, menanjak dan menukik tajam. Haha... Tapi ini sudah aku bayangkan saat cek review hotel, karena ada yang komen tentang jalan menanjak itu.

Dengan model jalan yang ekstrem itu, kupikir hotel ini tidak cocok sama sekali untuk lansia atau disabilitas.  Tapi ternyata mereka punya akses khusus untuk pengguna kursi roda, yang bisa naik turun dengan mesin, posisinya di kiri tangga masuk. Ya oke juga sih, cuma kalau gak pakai kursi roda tetap agak repot karena harus melewati beberapa anak tangga tinggi untuk masuk lobinya.

jalan-lobi-SRV
Jalan ekstrem menuju lobi. Ada aja mobil yang gak kuat nanjak😀


Berikut ulasan tentang hotel Surabaya River View yang berlokasi di Jl. Genteng Kali 73-75, Surabaya. Dinamakan river view karena letaknya dekat dengan sungai Kalimas di daerah Genteng. Pemandangan sungai ini terlihat dari beberapa kamarnya. 

Proses check in di hotel bintang 3 ini cepat, mungkin karena saat itu tidak ramai tamu. Lobinya bersih, dengan 2 sofa berwarna pink fuchia di sudut yang berbeda. Ada beberapa orang duduk di sofa lobi, yang sepertinya sedang menanti jemputan. Dari lobi ini bisa tampak area restoran yang memang posisinya di lantai lobi. 

Lobi hotel

Aku datang, menuju meja resepsionis,  menunjukkan tiket booking dan KTP, lalu diminta menunggu sebentar. Tak lama namaku dipanggil dan diberikan kunci kamar. Oh ya karyawan hotel juga sigap dan helpfull, menawarkan bantuan membawa tas mulai dari kami turun dari mobil. 

Kami langsung menuju kamar yang terletak di lantai 8. Ternyata kami dapat kamar di pojokan. Untuk menuju pintu kamarnya harus melewati lorong kecil seperti gang, selebar kusi roda deh. So kalau ada tamu pake wheelchair, ya ngepas. Hehe.. Ajaib juga ini layout ruangannya. Begitu pintu dibuka, jeng jeng... gelap. Iyalah belum masukin kartu akses wkwk... 

Family room di hotel SRV sungguh sesuai ekspektasi. Luasnya 33 m² lho. Ada 1 single bed + 1 queen bed, Ada 1 sofa panjang merah empuk yang bisa tuk tidur juga. Jadi, sebetulnya bisa muat 4 orang dengan properti yang ada. Meja dan kursi ada dekat jendela, dan masih banyak space ruangan kosong sehingga bisa leluasa gelar sajadah atau bahkan nambah 2-3 extra bed jika diperlukan. Pemandangan dari jendela room ini adalah city view yang tampak gemerlap lampu kota Surabaya pada malam hari. 

Kamar yang luas

Sofa bisa tuk selonjoran atau tidur

City view dari kamar

Kamar mandinya cukup luas juga dengan shower air dingin/panas, yang dibatasi pintu kaca. Uniknya pintu kamar mandi ini gabung dengan lemari di kamar. Jadi kalau mau nutup kamar mandi tinggal digeser, tapi lemarinya jadi terbuka. 

Fasilitas Hotel

AC ruangan dingin, WIFI cukup kencang dan ada kulkas kecil yang berfungsi baik. Depan tempat tidur ada TV yang sayangnya hanya ada beberapa saluran TV nasional yang jelas, Beberapa saluran lainnya banyak semutnya 😆. Tapi gak terlalu penting soal TV ini ya, karena di kamar hotel lebih banyak tuk istirahat. 

TV dengan saluran terbatas 😊

Fasilitas hotel SRV yang perlu diacungi jempol adalah rooftop pool. Tak banyak hotel bintang 3 yang menyediakan kolam renang, sedangkan di hotel ini ada kolam renang di rooftopnya. Selain berenang, dari rooftop lantai 12 ini kita bisa lihat pemandangan kota yang keren, sampai bisa menyaksikan sunset di langit yang cantik. Empat jempol deh. 

Rooftop pool

Nonton sunset dari pool

Saya booking room include breakfast untuk 3 orang. Untuk sarapan rasanya biasa aja dan kurang banyak variasi. Yang lucu aku sempat nyariin omelet tuk anak-anak karena lihat ada tamu bule makan omelet. Tapi di meja hidangan tak ada sajian omelet. Udah mondar-mandir gak ketemu, aku coba nanya pegawai hotel yang standby. Ternyata harus request, minta dibuatkan di kitchen-nya di ruangan yang berbeda dengan area resto. Dia tanya mau berapa, nanti dianter ke meja katanya. Ooo... 

Kesimpulan

Secara keseluruhan, aku puas nginep semalam di Hotel Surabaya River View. Family room dengan breakfast bertiga ini aku dapat di harga Rp800 ribuan booking via Agoda. Worth for money dari segi lokasi, kenyamanan dan fasilitas.

Ada yang samaan pernah nginep di sini?

Jumat, 18 Juli 2025

Review KA Gumarang Eksekutif Jakarta-Surabaya


Saat short trip ke Surabaya akhir Juni lalu, aku berangkat naik Kereta Api Gumarang. Kereta yang dipilih jadwal berangkatnya malam hari pukul 21.30 dari Stasiun Jakarta Pasar Senen dan tiba di Stasiun Surabaya Pasar Turi pukul 07.58, atau 10 jam 28 menit. Sengaja pilih jadwal ini supaya pas sampai Surabaya bisa langsung jalan-jalan, tidak kepagian atau terlalu "subuh" seperti beberapa jadwal lainnya.

Selain pertimbangan jadwal, aku pilih kereta eksekutif Gumarang karena harganya yang masih masuk budget yaitu Rp570k, dibandingkan dengan kelas eksekutif kereta lainnya yang umumnya lebih dari Rp600k. FYI, sebelumnya aku pernah coba naik kelas bisnisnya Gumarang, harga Rp300 ribuan, juga pernah naik kereta ekonomi new generation Jayabaya dan Dharmawangsa dari Jakarta ke Surabaya PP, di kisaran harga Rp230k-Rp270k.

Eh pas sedang nulis cerita ini, baca berita kalau kelas bisnis kereta ke Jawa dipensiunkan gaess diganti dengan kelas ekonomi new generation... Jadi tinggal kenangan deh kelas bisnisnya KA Gumarang. Tapi memang kereta ekonomi new generation itu terasa lebih nyaman dibandingkan kelas bisnis sih, terutama karena kursi ekonomi generasi baru yang mirip dengan kelas eksekutif.  


 

Tiket kereta Gumarang kelas eksekutif aku beli via tiket.com. Tak perlu cetak apapun dari aplikasi ini,karena setelah tiket dibayar, akan ada e-ticket di aplikasi dan di email. Scan barcode pada e-ticket di alat pintu masuk Keberangkatan Stasiun Pasar Senen, lalu akan keluar tiket yang harus ditunjukkan ke petugas di peron. Oya nama di tiket wajib sama dengan ID ya. Jadi kalau udah punya KTP, akan dicek kesesuaian nama tiket dengan KTP. Kalau anak-anak di bawah 17 tahun akan diminta diperlihatkan Kartu Keluarganya.

Interior KA Gumarang

KA Gumarang menurut Wikipedia disebut sebagai rangkaian kereta api campuran terpanjang di Indonesia. Hingga akhir Juni 2025 ia masih membawa 5 gerbong eksekutif + 9 gerbong bisnis + 1 gerbong restorasi, jadi total ada 15 gerbong kereta, selain gerbong kereta pembangkit dan lokomotif. Beberapa fasilitas kereta eksekutif ini aku tampilkan di foto-foto berikut.

Kursi reclining seat - tiap row ada jendela, di atasnya ada bagasi luas untuk menyimpan koper atau tas

Leg rest yang lega dan bisa naik turun. Ini kalau di kelas ekonomi new generation lebih sempit space-nya

Meja makan - ditarik dari lengan kursi

Colokan listrik + tempat gelas pada masing-masing row, di atasnya ada cantolan tuk gantung jaket atau tas

TV di bagian depan tiap gerbong tapi isi siarannya promo KAI 🤣

Selimut gratis - fyi fasilitas ini kalau di kelas ekonomi harus sewa @Rp10k

Aku agak menyesal sedikit karena order tiket KA Gumarang ini tidak jauh-jauh hari. Jadinya dapat tempat duduk yang sebelahan berdua, hanya tinggal tersedia di gerbong Eks-1, which is... Itu gerbong paling depan setelah gerbong lokomotif dan kereta pembangkit. Lebih sedih lagi pas lihat keretanya datang, ternyata gerbong Eks 1 dan 5 jendelanya berbeda dengan gerbong Eks 2-4 yang lebar banget bak kereta panoramik. Di gerbong Eks-1 dan 5 kita dapat jendela kecil seperti di pesawat, tapi untuk masing-masing baris.

Perbedaan jendela gerbong eksekutif 1 dan 2. Kenapa juga sesama eksekutif tapi beda?


Fasilitas lainnya adalah toilet umum di setiap ujung gerbong. Berhubung aku gak pernah mau pakai toilet kereta apapun, jadi gak foto-foto. Tapi menurut anakku sih toiletnya bersih. Dia juga cuma ngeliat aja, gak pakai toiletnya haha..

Satu lagi yang tidak terjamah adalah gerbong restorasi. Sebenarnya ini sedikit bikin penasaran karena konon gerbong makan di KA Gumarang termasuk mewah di kelas kereta jarak jauh. Tapi, berhubung dia posisinya di gerbong 6, dan aku udah mager di gerbong 1 yaa relakan sajalah lah yak.

Penampakan gerbong restorasi KA Gumarang yang mevvah (pict: YouTube @AldyanFanindaN)

Perjalanan dan Kesan

Perjalanan kereta dimulai dari stasiun Pasar Senen Jakarta tepat pukul 21.30, berhenti di stasiun Jatinegara dan Stasiun Bekasi untuk mengambil penumpang. Setelah itu gerbong kereta digelapkan agar penumpang bisa tidur.

Kereta Gumarang AC nya dingin banget dan sentral jadi tidak bisa diatur sendiri ya. Karena udah pernah naik kereta ini sebelumnya (kelas bisnis), so aku udah prepare pakai jaket hangat dan kaos kaki. Dapat selimut kereta malah kutaruh di punggung tuk bantal hehe...

Sepanjang perjalanan beberapa kali Prama/Prami mondar mandir menawarkan makanan dan minuman yang dibawa di troli dorong. Denger-denger sih harga kopi Rp7 ribuan, harga makanan beratnya mulai dari Rp 25k. Bisa juga pesan menu yang dijual di gerbong restorasi dan nanti diantar ke kursi. Berhubung sebelum naik kereta kami sudah makan malam, dan bawa bekal snack juga, jadi aku skip beli di atas kereta. Selain menawarkan makanan, ada juga petugas lain yang lewat menawarkan untuk mengambil sampah.

Sepuluh setengah jam itu perjalanan yang melelahkan kalau kursinya gak nyaman. Beberapa kali aku ganti posisi duduk dan mengatur sandarannya agar dapat posisi ternyaman. Untunglah di kelas eksekutif ini sandarannya bisa direbahkan dengan kemiringan sekitar 130° dan kursinya cukup empuk, ditambah kaki bisa selonjoran, jadi yaa lumayan bisa meluruskan badan.

Kalau ditanya bisa tidur atau tidak, jawabannya: tidak bisa tidur nyenyak saudara-saudara... Alias tidur-bangun tidur-bangun. Padahal, beli tiket eksekutif salah satu harapannya, bisa terlelap hingga Surabaya. Hiks!

Pemandangan pagi dari jendela, lumayan lah meski dapat jendela kecil

KA Gumarang tiba di stasiun Pasar Turi Surabaya pukul 8 lebih 5 menit, telat 7 menit dari jadwal seharusnya pukul 7.58. Alhamdulillaah sampai dengan selamat di Surabaya menyisakan leher yang pegel-pegel. Next sepertinya harus bawa bantal leher deh supaya kepala tersangga lebih enak mengingat posisi rebahnya tidak 180 derajat.

So, apakah kenyamanan KA Gumarang Kelas Eksekutif sesuai dengan harganya? Mungkin sudah tergambar dari cerita di atas ya. Untuk kereta malam yang seyogyanya jadi tempat tidur selama perjalanan, jujurly buat aku belum sesuai ekspektasi. Rasanya hampir sama dengan kelas ekonomi new generation, hanya lebih leluasa untuk kakinya aja. Tapi untuk kebersihan, suasana, pelayanan, dan fasilitas lainnya, no complain. 

Thanks KAI, yang penting perjalanan lancar, selamat sampai Surabaya dengan hati hepii... 😊  

Selasa, 01 Juli 2025

Cerita Short Trip ke Surabaya

Long wiken akhir Juni ini sempat bikin galau. Si adik, anak SMA, mulai libur sekolah 2 minggu lebih. Sementara kakaknya yang kuliah di Surabaya libur juga, tapi ada kegiatan organisasi di bulan Juli. Nanggung kalau si kakak balik ke Bogor, akhirnya diputuskan yang di Bogor ajalah ke Surabaya. 

Eh ternyata si adik ada janji acara pula hari Sabtu malamnya, yang gak mau banget dilewatkan. Jadilah perjalanan dirancang sesingkat mungkin. Berangkat Rabu malam, Sabtu pagi udah di Bogor lagi. Terkesan maksain banget sih, semalam doang di Surabaya, yang dengan perjalanan jadi 3 malam. Tapi its okay lah, biar tetep ada cerita liburan, dan sesekali ngumpulin kakak beradik ini di Surabaya 😊. 

Perjalanan ke Surabaya

Berangkat ke Surabaya, kami naik kereta api (KA) malam Gumarang Jakarta Pasar Senen - Surabaya Pasar Turi kelas eksekutif. Jadwal berangkat pukul 21.30. Sebenarnya ada banyak pilihan kereta lain yang menurut pengalaman "lebih nyaman". Pilihan jatuh ke KA Gumarang dengan pertimbangan sampai di Surabaya pukul 8.00 pagi. 

Jadwal kereta lainnya, ada yang tiba di Surabaya pukul 2 dini hari atau ada juga yang pukul 4 subuh. Berhubung tak ada rencana ke rumah kerabat, kami menghindari tiba di Surabaya sebelum matahari terbit, agar bisa langsung jalan-jalan sebelum check-in hotel jam 2 siang. 

Review naik KA Gumarang Eksekutif nanti aku buat di tulisan berbeda ya 😏. 

Jalan-jalan Seputar Surabaya Pusat

Waktu menunjukkan pukul 8 lewat 5 menit di Stasiun Pasar Turi Surabaya saat kereta Gumarang yang kami naiki tiba. Karena belum sarapan, jadi kami rencana sarapan dulu di luar stasiun. Setelah ketemuan dengan si kakak yang memang aku suruh nyamperin ke stasiun, kami berdiskusi mau ke mana. Sebetulnya udah direncanakan sih kalau jalan-jalannya di seputar Surabaya Pusat aja, agar tak jauh dari hotel di daerah Genteng, Surabaya Pusat. 

1. Ke Monumen Kapal Selam

Akhirnya kami putuskan menuju ke Monumen Kapal Selam (Monkasel), yang sudah buka sejak pukul 8.00. Kalau baca beberapa review di Google katanya ada banyak tempat makan di sana, jadi kami pikir sekalian aja cari sarapan di sana. 

Sampai di Monkasel, niat langsung dapat sarapan pupus sudah, karena yang ada kios warung-warung yang hanya menjual minuman dan snack. Ada kantin di bagian dalam pun, tutup atau belum buka. Yaa sudahlah tahan dulu laparnya, kita langsung menuju ke kapal selam... Hehe. 


Monkasel dibangun untuk mengenang KRI Pasopati, kapal selam yang punya peran penting zaman perjuangan Indonesia. Monumen ini dibuka resmi tahun 1998, diresmikan oleh KSAL Laks. Arief Kushariadi dan sampai sekarang jadi salah satu ikon kota Surabaya. Ini kalo untuk orang Surabaya sendiri mungkin bosen lihat monumen kapal selam, karena kapal ini ‘parkir’ permanen di jalan raya protokol, tepatnya di Jl. Pemuda No. 39, Embong Kaliasin, Surabaya. Bisa kelihatan dari jalan, kalau tiap lewat situ. Tapi buat kami yang dari Bogor, ya lumayan penasaran pingin liat isinya. 


KRI Pasopati 410 termasuk kapal selam tipe Whiskey Class buatan Vladivostok, Rusia. Mulai aktif di Angkatan Laut Indonesia sejak 29 Januari 1962, tugasnya cukup berat, mulai dari menyerang kapal musuh, patroli diam-diam, sampai ikut operasi penting seperti Trikora. Kapal lawas ini punya panjang 76,6 meter dan lebar 6,3 meter. 



Berikut foto-foto bagian dalam Monkasel. Untungnya saat itu masih pagi dan hari kerja (Kamis), jadi pengunjung tidak terlalu ramai. Kami menyusuri ruangan kapal selam dari pintu masuk depan sampai pintu keluar belakang, lumayan agak sumpek... padahal pengunjung masih sedikit dan di beberapa ruangan dipasang AC.

Tempat tidur perwira
Pintu antar ruang - ada yang harus menunduk untuk lewat situ. 
Tiga kali lewatin pintu bulat itu, ampun deh kalo orang tua sih susah pasti

Ruang Komandan - sempit hehe..

Ruang komunikasi, ruang mesin, sonar, bilik hitung, kamar mandi
Periskop atau teropong kapal selam

Fasilitas di area Monkasel sendiri cukup lengkap. Ada toilet, musholla, ruang nonton film dokumenter (Video Rama), pertunjukan musik live, dan naik perahu di wisata air Kalimas. Di sekitar lokasi juga ada kios tempat jajan makanan/minuman, kolam renang kecil tuk anak, dan kios suvenir buat oleh-oleh. Oya harga tiket Rp15K perorang sudah include menonton film dokumenter. Tapi kami skip nonton itu, karena tayangnya agak siang. 

Tak terasa sudah sejam lebih kami menjelajah isi kapal selam. Keluar dari Monkasel, hawa panas mulai terasa membakar kulit. Waktu menunjukkan  pukul 10 kurang dan kami belum sarapan juga hahah, sekalian makan siang ini mah 😫.

Saat jalan keluar monumen, kami baru ngeh kalau persis di sebelahnya itu ada mal Plaza Surabaya. Bahkan kita bisa masuk dari parkirannya di dalam. Yo wes lah jalan sedikit ke mal, kami ngadem sambil cari makan. 

Plaza Surabaya buka jam 10 teng dan kami langsung menuju food court-nya untuk isi perut.

2. Ke Kota Lama Surabaya

Selesai makan, di mal muter-muter sebentar, setelah itu kami naik taksi online ke Kota Lama Surabaya. Driver taksol memberikan masukan, kalau ke Kota Lama sebetulnya lebih menarik sore hari untuk view dan foto-foto. Tapi berhubung waktunya tidak memadai, kami tetap ke Kota Lama siang itu. 

Pemandangan Kota Lama yaa... mirip Kota Tua Jakarta, dengan berbagai gedung kuno peninggalan Belanda yang tetap dipertahankan bentuk bangunannya. Ada juga jambatan merah dan pusat grosir Plaza Jembatan Merah. Pusat lokasi Kota Lama adalah taman dengan pohon rindang dan beberapa spot untuk duduk-duduk. Di pinggir taman banyak juga bentor (becak motor) yang menawarkan keliling Kota Tua dengan tarif Rp20K. 

Sudut-sudut Kota Lama Surabaya
Ada replika mobil Jend. Mallaby, Perwira Inggris yang terbunuh tahun 1945

Di salah satu sudut di taman Kota Lama ini juga ada lapangan yang bisa digunakan untuk main basket atau main bola.

Ada beberapa anak sedang main bola saat kami lewat situ, dan cuaca sedang terik. Aku dan si kakak cari tempat ngadem sambil foto-foto, sementara si adik malah nonton bocah main bola. Yah maklum anak yang ini memang hobi bola dan olahraga sejak kecil. 

Saat ditinggal foto-foto, eh taunya dia ikut main bola dong.. Ohemji. Ini anak sok asik apa emang supel banget sampe bisa membaur sama bocil yang gak dikenal?!

Bocah gede nimbrung main bola dengan bocah cilik :))

Komen si adik setelah selesai jadi penjaga gawang: "Seru bunda, ini tuh vibes-nya kayak di Brazil".

"Hah..?"

3. Check in Hotel

Setengah jam menjelang waktu check in, kami beranjak dari Kota Lama menuju hotel. Hotelnya di daerah Genteng, yaitu Surabaya River View. 

Oya kami menclok ke sana kemari itu sebetulnya berdekatan semua tempatnya. Jadi kalau naik taksi online itu dari tadi tarifnya hanya Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu aja. 

Proses check-in di Hotel Surabaya River View (SRV) mudah dan cepat plus dapat harga terbaik booking dari Agoda dengan promo pembayaran pakai Jenius. Aku pilih family room dengan 1 double bed + 1 single bed untuk 3 orang. 

Hotel bintang 3 ini bersih dan punya pool di rooftop-nya lantai 12. Setelah istirahat, menjelang sore anak-anak jagoan itupun berenang di pool hotel. 

Review lengkap hotel ini, nantikan yaa... 😊


4. Makan Malam di Resto AYCE

Aku yang niat mau makan malam khas Surabaya atau Jawa Timuran, terpaksa harus "mengalah" karena keinginan si adik yang ingin menraktir makan di resto all you can eat (AYCE). Ish, kapan lagi ditraktir sama anak... Tak boleh ditolak. Wkwkwk. 

Resto yang dipilih namanya Ikon, Korean AYCE. Letaknya tak terlalu jauh dari hotel, di Jln. Kertajaya 42A, Gubeng, Surabaya. Yang lucu, titik di map taksi online salah. Alhasil sempat bikin kita nyasar masuk gang perumahan. Tenyata posisi Ikon ini di sebrang jalan titik yang salah tadi. 

Makan di Ikon ini yah begitulah, AYCE bukan tipe resto favoritku sih. Tapi anak-anak puas. Interiornya K-Popers banget, menunya banyak dan tidak mengecewakan. 

Berikut pricelist-nya (Juni 2025) :
- Dewasa : Rp132.825 nett/pax
- Anak-anak di bawah 110cm : Free
- Anak-anak 110 cm - di bawah 140 cm : Rp66.412 nett/pax
- Anak-anak 140cm-di atasnya : Harga dewasa

Durasi makan di resto ini 120 menit dan untuk reservasi disyaratkan minimal 4 orang dewasa + DP 50%.

Lebih lengkapnya bisa cek di Instagram resto ini : @ikon_kita.

Dari Ikon tadinya aku niat mlaku-mlaku nang Tunjungan. Ehh ternyata gerimis dong keluar dari resto. Dari pada kepala pening karena kebanyakan daging + kehujanan, akhirnya kami balik ke hotel. 

5. Ke Jl. Tunjungan

Jalan-jalan di Tunjungan kesampean besok harinya setelah kami check-out. Keluar hotel, langsung jalan kaki yang sekitar 500 meter aja sudah sampai ke Jl. Tunjungan. Di sini juga mirip suasana di Braga Bandung, banyak bangunan hotel, dan pertokoan/tempat makan. 

Kami sempat melewati Museum Surabaya Siola yang tutup karena hari itu tanggal merah. Lalu masuk ke FamilyMart besar yang di dalamnya ada barista robot. Si adik pesan kopi americano karena pingin lihat robot beraksi. Dari situ kami sampai di Tunjungan Plaza (TP), yang menurut Wikipedia merupakan mal terbesar kedua di Indonesia. Pusat perbelanjaan ini punya 6 bangunan utama yang saling berhubungan (Tunjungan Plaza 1-6).

Halaman Museum Surabaya Siola

Robot Barista "Omron"
Capek jalan di mal, akhirnya kami isi perut di foodcourt di TP-2 siang itu. 

6. Ke Pusat Oleh-oleh Bu Rudy sebelum Pulang

Di TP mau beli oleh-oleh kok gak ada yang sreg, akhirnya kami keluar mal dan naik taksi online lagi menuju Pusat Oleh-oleh Bu Rudy. Di sini mah gudangnya oleh-oleh. Apa aja ada. 

Setelah sejam di Bu Rudy (lama karena antre kasir), kami pun bergegas menuju Terminal Bungurasih. Tebak naik apa? Perdana naik sleeper bus KYM Trans Surabaya Bogor! 

Kenapa gak naik kereta lagi? Pingin nyobain aja supaya ada pengalaman baru di perjalanan singkat ini. Next lagi yaa cerita tentang sleeper busnya 🤭. 

Okay... Gitu deh cerita short trip ke Surabaya.

Minggu, 01 Juni 2025

Review Film Final Destination: Bloodlines – Nostalgia Ngeri dengan Twist Baru

Malem minggu, aye pergi ke bioskop... (lanjut nyanyi sendiri deh hihihi). 

Akhirnya, setelah sekian lama, film thriller legendaris Final Destination comeback lagi dengan judul Final Destination: Bloodlines. Aku semangat dong, nonton di bioskop berdua anak (tenaang.. ini anaknya udah punya KTP kok). Semangat, bukan semata karena filmnya sih, tapi karena tiketnya Buy One Get One di Cinepolis hahaha (sponsored by Jenius).


Kalau kalian dulu tumbuh bareng film-film ini sambil tutup mata pas adegan “kematian berantai” dimulai, siap-siap nostalgia. 

Sinopsis (bukan spoiler)

Cerita Bloodlines ini bukan kelanjutan dari film sebelumnya, tapi semacam latar belakang yang mengulik asal-usul mengapa kematian bisa begitu kejam dan terorganisir.

Tokoh utamanya adalah Stefani Reyes, seorang mahasiswi pintar di kelasnya. Eh kok jadi inget Nasa si mahasiswi di cerbung itu... 👀 

Ceritanya Stefani terus menerus dihantui mimpi buruk tentang kecelakaan di era jadul yang tidak pernah dia pahami, sampai ganggu tidur dan bikin kacau kuliahnya. Mimpi itu membawanya kembali kepada keluarga, bertemu dengan nenek yang tak pernah ia temui sebelumnya, serta menggali rahasia kelam keluarganya sendiri.

Dari situ cerita khas Final Destination dimulai. Satu per satu keluarganya mulai tewas dalam kejadian aneh, brutal, dan penuh "pertanda" seperti biasanya.

Btw, dibandingkan 5 film sebelumnya, ada yang berbeda di film Final Destination terbaru, yaitu adanya benang merah di masa lalu, ada sesuatu yang diwariskan pada silsilah keluarga Stefani. Di sinilah judul "Bloodlines" mulai terasa maknanya.

Jika mengikuti seluruh film Final Destination (FD) sebelumnya, kecelakaan yang "seharusnya" merenggut maut korban sejak awal kejadian bisa dirangkum sebagai berikut:

  • Final Destination (2000): kecelakaan pesawat
  • Final Destination 2 (2003): kecelakaan di jalan melibatkan truk pembawa batang kayu
  • Final Destination 3 (2006): kecelakaan roller coaster
  • The Final Destination (2009): kecelakaan lintasan balap
  • Final Destination 5 (2011): runtuhnya jembatan gantung
  • Final Destination: Bloodlines (2025): runtuhnya menara skyview. 

Kalau kalian, dari film FD pertama sampai kelima, mana yang paling nyatol di memori? Aku sih FD 2 dan FD 5, yang jadi bikin waspada di jalanan dan paling gelisah kalo sedang naik mobil dengan posisi ada di belakang truk barang 😖. Tapi gak tau sih, apakah itu karena efek filmnya, atau karena sering tayang di TV dan ditonton berulang-ulang heheh.. 

Dan ternyata, si batang kayu itu nongol lagi di episode Bloodlines 😵‍💫. 

Pemeran Utama

  • Kaitlyn Santa Juana sebagai Stefani Reyes
  • Teo Briones sebagai Charlie Reyes, adik laki-laki Stefani
  • Richard Harmon sebagai Erik Campbell, sepupu Stefani
  • Owen Patrick Joyner sebagai Bobby Campbell, sepupu Stefani
  • Rya Kihlstedt sebagai Darlene Campbell, ibu Stefani
  • Anna Lore sebagai Julia Campbell, sepupu Stefani
  • Brec Bassinger sebagai Iris Campbell muda, nenek Stefani
  • Tony Todd (alm) sebagai William Bludworth, karakter ikonik pengurus rumah duka dari seri-seri sebelumnya.

Aku baru tau setelah film berakhir, kalau ternyata FD Bloodlines adalah film pamungkasnya Tony Todd. Ia syuting dalam keadaan sakit, atas permintaannya sendiri. Aktor pemeran film Candyman itu meninggal dunia pada 6 November 2024 silam karena kanker perut dalam usia 69 tahun.

"Hidup itu berharga. Nikmati setiap detiknya. Anda tidak pernah tahu kapan... Semoga beruntung." - Tony Todd
Quotes itu mengharukan, karena kabarnya merupakan improvisasi dari Tony Todd sendiri, di luar skenario. 

FD Bloodlines disutradarai oleh Zach Lipovsky dan Adam B. Stein yang dikenal sebagai sutradara film Freaks. Film produksi New Lines Cinema ini produsernya adalah Craig Perry – produser veteran dari seluruh seri Final Destination.

Kesimpulan

Film Final Destination : Bloodlines, terasa berbeda plot dari seri sebelumnya.  Ceritanya  bukan cuma nunggu siapa yang dijemput maut duluan, tapi juga mikir: “apa ada cara buat ngelawan takdir?” Tapi intinya sama dengan film-film sebelumnya, yaitu : kematian tidak suka diganggu. 

Ada beberapa humor receh di sela film ini, yang menurutku sih gak perlu ya karena mengganggu ketegangan. Tapi secara keseluruhan tetap seru ditonton. 

Buat yang perdana nonton Final Destination, film FD Bloodlines ini bisa banget jadi pintu masuk merasakan atmosfer kelam khas seri ini, bagaimana kematian datang dengan cara "kreatif".

Dan, di balik semua kebrutalan yang dihadirkan, terselip pesan, jangan meremehkan hal-hal kecil dalam hidup. 

Siapa yang udah nonton? 

***

Jumat, 23 Mei 2025

Ada Titik Merah di Matanya (Bagian 3)

Baca episode sebelumnya : Bagian 1 dan Bagian 2

Rumah yang Tidak Pernah Dibangun

Setelah malam itu, suasana kampus Teknik Arsitektur perlahan berubah. Studio belakang tetap dikunci, tapi tak ada lagi hawa dingin yang menyergap setiap mahasiswa yang lewat. Para dosen pun tampak lebih ringan langkahnya, seolah satu lapisan kabut tak kasat mata yang selama ini menyelimuti ruangan-ruangan tua itu akhirnya terangkat. 


Tapi bagi Nasa, semua itu bukan sekadar perubahan suasana. Itu adalah akhir dari bab lama yang selama ini diam-diam membebaninya sejak hari pertama ia menginjakkan kaki di kampus ini, serta awal dari perjalanan baru yang lebih jujur.

Vira dan Rere, yang dulu hanya melihat Nasa sebagai "mahasiswi baru aneh", kini melihat sosok yang berbeda. Mereka tahu Nasa bukan sekadar mahasiswa baru biasa yang sesekali diam dan sesekali tertawa. Ia adalah seseorang yang selama ini membawa luka, menyembunyikannya di balik garis-garis sketsa arsitektural, dan menguncinya dalam senyum palsu yang hanya muncul untuk menenangkan orang lain. Di balik semua itu, ia adalah anak perempuan yang belum benar-benar melepaskan ibunya.


Hari-hari berikutnya diisi dengan hal-hal kecil yang bermakna. Nasa mulai lebih sering duduk di tengah keramaian. Ia tidak lagi menarik diri ke tangga musholla saat senja, tapi ikut membantu Mas Didi, OB pengganti Alm. Mas Oboy, mengangkat gelas-gelas plastik bekas ke tempat sampah. Sesekali, ia bahkan bercanda. Candaan yang tidak menyeramkan, tapi hangat. 

Rere memperhatikan, titik merah di mata itu benar-benar hilang. Seperti bercak tinta yang akhirnya larut setelah hujan panjang.

Namun bukan berarti semuanya kembali normal begitu saja. Di malam-malam tertentu, Vira masih mengaku mendengar suara langkah kaki di lorong studio belakang, padahal seharusnya tak ada siapa-siapa. Rere sendiri masih bermimpi berada di ruangan kosong dengan lampu redup, meski kini tidak ada lagi bayangan Nasa bermata merah. 

Tapi mereka semua belajar menerima, bahwa ada hal-hal yang tidak bisa sepenuhnya dijelaskan. Ada luka yang tidak akan benar-benar sembuh, melainkan hanya berdamai. Dan itu tidak apa-apa.


Suatu sore, mereka bertiga duduk di kantin, memandangi maket besar yang sedang disusun untuk pameran tugas akhir semester. Nasa membuka sketsa lama milik almarhum Mas Oboy—ya, ternyata Mas Oboy pernah iseng menggambar desain rumah impiannya. Rumah kecil dengan halaman luas dan satu jendela besar di ruang tamu.

Nasa menatap gambar itu lama, lalu berkata, “Aku pingin bangun rumah ini suatu hari nanti. Tapi bukan buat aku. Buat orang-orang yang enggak punya tempat buat pulang.”

Kalimat itu membuat Vira terdiam. Rere menatap Nasa dalam-dalam. Di situ, mereka sadar: Nasa tidak lagi hanya ingin menggambar bangunan. Ia ingin membangun tempat yang punya arti. Dan mungkin, di tengah semua horor yang pernah mereka alami, itulah yang paling menyentuh. Seorang gadis muda yang kehilangan arah, kini ingin menjadi arah bagi orang lain.


Kampus perlahan kembali hidup. Mahasiswa sibuk dengan deadline, dosen kembali galak, kantin mulai kehabisan kopi lagi. Tapi di balik semua itu, mereka yang tahu cerita Nasa menyimpan kisah itu di dalam hati. Cerita tentang seorang gadis yang matanya pernah menyimpan titik merah, tapi hatinya menyimpan cinta yang terlalu besar untuk disimpan sendiri.
Beberapa bulan kemudian, Nasa membuat desain bangunan untuk lomba arsitektur antar-universitas. Judul proyeknya: “Rumah yang Tak Pernah Dibangun”. Desainnya menyerupai rumah kecil dalam sketsa Mas Oboy, tapi dengan tambahan taman kecil di belakang dan satu ruang yang hanya berisi cermin, bunga putih, dan dinding penuh kutipan.


Salah satu kutipan di dinding itu berbunyi:

“Luka tidak selalu harus disembuhkan. Kadang cukup diterima, dipeluk, dan diberi tempat untuk tinggal.”, 

Nasa tidak memenangkan lomba itu. Tapi desainnya dipajang di lobi kampus. Setiap mahasiswa yang lewat bisa membacanya. Dan bagi mereka yang tahu cerita di baliknya, itu bukan sekadar desain. Itu adalah monumen keheningan, kehilangan, dan harapan.


Pagi itu, Nasa menatap pantulan dirinya di cermin gantung di kamar kosnya. Tidak ada titik merah lagi di matanya. Kalau Rere tidak cerita padanya, Nasa sendiri tidak pernah sadar saat kehadiran titik merah itu beberapa bulan yang lalu. 

Di depan cermin, Nasa sedikit terkaget, lalu diam.

Ia akhirnya mengingat semuanya.

Selama ini, Nasa berpikir dirinya hanya “melihat-lihat”, menjadi saksi pasif dari keanehan di kampus Arsitektur: Mas Oboy jatuh dari tangga, pak Darto tukang sapu yang menghilang sore-sore, sketsa kak Dimas yang hilang, serta Diba yang teriak-teriak histeris di toilet. Tapi ternyata, Nasa selalu ada di sana.

Bukan secara fisik. Tapi sesuatu dalam dirinya yang berpindah-pindah tanpa ia sadari. Ia pikir ia sedang di kamar ketika Mas Oboy terjatuh. Tapi Farrel temannya pernah bilang, “Lo sempat numpang ngeprint pagi itu di lantai atas, kan?” Nasa membantah, tapi flashdisk-nya ditemukan di printer lantai itu. Ia pikir ia tak pernah bertemu tukang sapu itu, tapi namanya pernah tercatat di laporan kejadian di TU: “Mahasiswi Nasa memberi tahu bahwa Pak Darto sempat muntah di dekat studio.” Dan seterusnya... 

Nasa pikir ia hanya lupa.

Padahal, ia dipakai. 

Titik merah itu... penanda perantara. Ada entitas penghuni kampus yang tak bisa menyentuh dunia nyata tanpa tubuh—dan ia memilih orang-orang yang “tidak terlihat": mahasiswa baru yang pendiam, yang sedih berkepanjangan, atau yang sering melamun sendirian. Seperti Nasa.

Nasa menunduk. Ia tahu ini bukan tentang memilih lagi.

Ini soal waktu, karena kampus itu belum selesai memilih korban berikutnya.


TAMAT. 

Kamis, 08 Mei 2025

Ada Titik Merah di Matanya (Bagian 2)

Baca sebelumnya : Ada Titik Merah di Matanya (Bagian 1)

Tiga hari setelah kejadian di kamar mandi, kampus Teknik Arsitektur mulai terasa… berat. Suasana mencekam bukan cuma dari kejadian-kejadian aneh, tapi juga dari energi orang-orang di dalamnya. Mahasiswa jadi gampang marah, dosen sering kehilangan fokus, dan kantin mendadak sering sepi. Seolah-olah semua sedang menahan sesuatu—tapi entah apa.

Studio belakang yang sebelumnya direnovasi, mendadak ditutup permanen. Di pintunya, dipasang segel garis kuning oleh pihak kampus, tanpa ada pengumuman resmi.


"Kayaknya ada yang meninggal di dalam," bisik Dimas waktu Vira dan Rere melewati depan studio malam itu.

"Lu tau dari mana kak?"

"Gue nguping Pak Darto ngomong di telepon. Katanya... mereka nemu noda darah di salah satu meja gambar. Tapi enggak ada jasad."


Di tengah semua kekacauan itu, Nasa tetap aneh. Dan juga terlihat makin rapuh.

Vira akhirnya berani duduk bareng Nasa di tangga musholla. Mereka lama saling diam. Hanya duduk, sambil mendengar suara azan Maghrib dari masjid seberang.

“Kamu pernah ngerasa kayak... enggak pengen bangun dari tidur?” tanya Nasa tiba-tiba.

Vira menoleh. “Kenapa?”

Nasa tak menjawab. Matanya melamun jauh, tapi kali ini bukan kosong. Tampak ada kesedihan berat di situ.

“Aku... masih denger suara ibu, Vir... Di kamar kosan. Kadang dia bilang dia dingin. Kadang dia bilang dia sendirian.”

Vira menahan napas. Lalu Nasa lanjut bicara.

“Dulu, ibu sering duduk nemenin aku gambar. Kalau aku marah-marah karena salah garis, dia yang tenangin. Tapi waktu terakhir... dia nangis. Dia bilang dia enggak kuat hidup sendiri.”


Hari berikutnya, Rare yang memutuskan untuk cari tahu lebih jauh tentang Nasa. Dia nekat ke TU dan minta arsip mahasiswa baru, dengan alasan perlu data untuk acara angkatan.


Setelah nego dan senyum-senyum ke Mbak Lisa staf TU, Rere berhasil mendapatkan data Nasa.

Nama lengkap: Anasashia D. Pramesti
Tempat Tanggal Lahir: Malang, 3 Maret 2006
Orang tua: Alm. Pramesti A.R. (Ibu)

Ada yang bikin Rere merinding. Di bagian bawah arsip, tertulis catatan kecil:

"Wali mahasiswa meninggal dua minggu sebelum registrasi ulang. Surat kematian diserahkan oleh pihak RT, tidak oleh keluarga."

Dan satu lagi:
Foto pendaftaran ulang Nasa... matanya tertutup! 


Malam itu, Rere mimpi buruk lagi. Dia ada di studio belakang, semua meja gambar kosong. Tapi ada satu meja punya bercak merah, tepat di atas kertas kalkir.

Lalu Nasa muncul di ujung ruangan. Rambutnya terurai, wajahnya pucat, dan matanya… merah. 

Bukan cuma titik. Satu bola matanya penuh warna merah.

Dan dia berbisik: 

"Aku… enggak mau sendiri…”

***

Mata yang Menyimpan Rumah

Pagi itu, kabar duka beredar cepat di grup angkatan.

Mas Oboy meninggal.

Kabar itu membuat kantin Arsitektur sunyi. Biasanya ada Mas Oboy yang sering melempar candaan receh setiap lewat meja makan kantin. Sekarang, kursi bakso dekat meja kasir tempat dia biasa duduk, ditutup kain hitam.

“Katanya serangan jantung,” bisik Bu Ratna dari TU.

Tapi Rere tahu… malam sebelum Mas Oboy meninggal, dia melihat Nasa berdiri sendirian di depan gudang kantin. Tatapannya kosong. Dan matanya merah.


Vira, Rere, dan Dimas akhirnya sepakat. Ini bukan kebetulan. Mereka harus bicara langsung dengan Nasa. Tapi malam itu, kamar kos Nasa kosong. Pemilik kos bilang dia keluar sejak pagi dan belum pulang.

“Neng Nasa tuh anak baik sebenernya, cuma… kadang suka ngomong sendiri tengah malam,” ujar ibu kos pelan. “Pernah juga saya denger dia minta maaf... sambil nangis.”


Pencarian mereka berakhir di studio belakang, meski segelnya sudah jelas-jelas: DILARANG DIBUKA.

Tapi saat itu, pintunya terbuka sedikit. Seperti memang disiapkan.

Di dalam, ruangannya dingin. Semua meja diselimuti debu, kecuali satu: meja gambar tua di pojok ruangan. Di atasnya, ada kalkir lusuh dan garis-garis merah samar seperti bekas tangan.

Tiba-tiba Nasa muncul dari bayangan. Tubuhnya lemas, wajahnya seperti habis menangis berhari-hari.

“Aku enggak mau bikin kalian takut…” suaranya lirih. “Tapi ibu enggak pergi. Dia nunggu di sini.”

Semua terdiam.

“Aku kira… kalau aku kuat, aku bisa jalan sendiri. Tapi ternyata aku cuma pura-pura. Aku gambar rumah buat tugas, tapi yang sebenarnya aku cari... tempat buat ibu pulang.”

Nasa menatap mereka satu-satu. Di matanya, titik merah itu kini menyala samar. Tapi bukan menyeramkan. Lebih seperti... luka yang belum sembuh.

“Seringkali, kita tak butuh tempat tinggal. Kita cuma butuh seseorang yang bisa jadi rumah.”


Tiba-tiba, angin dingin berembus. Cahaya lampu di studio redup. Di cermin yang tergantung di dinding, muncul bayangan perempuan senyumnya lembut, matanya sendu.

Nasa mendekat. “Bu… udah cukup. Aku enggak sendiri lagi.”


Cermin itu retak perlahan. Dan saat retakannya menghilang, sosok di dalamnya juga lenyap. Udara mendadak hangat. Hening. Tenang.

Titik merah di mata Nasa perlahan memudar.


Malam itu, Vira, Rere dan Nasa duduk di tangga musholla kampus, menatap langit.

Nasa akhirnya tersenyum, bukan senyum kosong, tapi tulus. Matanya basah, tapi bersih.

"Terima kasih udah tetap di sini, walaupun aku aneh. Kadang kita cuma butuh satu orang yang mau duduk bareng kita dalam diam.”


BERSAMBUNG...