Kamis, 08 Mei 2025

Ada Titik Merah di Matanya (Bagian 2)

Baca sebelumnya : Ada Titik Merah di Matanya (Bagian 1)

Tiga hari setelah kejadian di kamar mandi, kampus Teknik Arsitektur mulai terasa… berat. Suasana mencekam bukan cuma dari kejadian-kejadian aneh, tapi juga dari energi orang-orang di dalamnya. Mahasiswa jadi gampang marah, dosen sering kehilangan fokus, dan kantin mendadak sering sepi. Seolah-olah semua sedang menahan sesuatu—tapi entah apa.

Studio belakang yang sebelumnya direnovasi, mendadak ditutup permanen. Di pintunya, dipasang segel garis kuning oleh pihak kampus, tanpa ada pengumuman resmi.


"Kayaknya ada yang meninggal di dalam," bisik Dimas waktu Vira dan Rere melewati depan studio malam itu.

"Lu tau dari mana kak?"

"Gue nguping Pak Darto ngomong di telepon. Katanya... mereka nemu noda darah di salah satu meja gambar. Tapi enggak ada jasad."


Di tengah semua kekacauan itu, Nasa tetap aneh. Dan juga terlihat makin rapuh.

Vira akhirnya berani duduk bareng Nasa di tangga musholla. Mereka lama saling diam. Hanya duduk, sambil mendengar suara azan Maghrib dari masjid seberang.

“Kamu pernah ngerasa kayak... enggak pengen bangun dari tidur?” tanya Nasa tiba-tiba.

Vira menoleh. “Kenapa?”

Nasa tak menjawab. Matanya melamun jauh, tapi kali ini bukan kosong. Tampak ada kesedihan berat di situ.

“Aku... masih denger suara ibu, Vir... Di kamar kosan. Kadang dia bilang dia dingin. Kadang dia bilang dia sendirian.”

Vira menahan napas. Lalu Nasa lanjut bicara.

“Dulu, ibu sering duduk nemenin aku gambar. Kalau aku marah karena garis di kalkirku luntur kena air, dia yang nenangin. Tapi waktu terakhir... dia nangis. Dia bilang dia enggak kuat hidup sendiri.”


Hari berikutnya, Rare yang memutuskan untuk cari tahu lebih jauh tentang Nasa. Dia nekat ke TU dan minta arsip mahasiswa baru, dengan alasan perlu data untuk acara angkatan.


Setelah nego dan senyum-senyum ke Mbak Lisa staf TU, Rere berhasil mendapatkan data Nasa.

Nama lengkap: Anasashia D. Pramesti
Tempat Tanggal Lahir: Malang, 3 Maret 2006
Orang tua: Alm. Pramesti A.R. (Ibu)

Ada yang bikin Rere merinding. Di bagian bawah arsip, tertulis catatan kecil:

"Wali mahasiswa meninggal dua minggu sebelum registrasi ulang. Surat kematian diserahkan oleh pihak RT, tidak oleh keluarga."

Dan satu lagi:
Foto pendaftaran ulang Nasa... matanya tertutup! 


Malam itu, Rere mimpi buruk lagi. Dia ada di studio belakang, semua meja gambar kosong. Tapi ada satu meja punya bercak merah, tepat di atas kertas kalkir.

Lalu Nasa muncul di ujung ruangan. Rambutnya terurai, wajahnya pucat, dan matanya… merah. 

Bukan cuma titik. Satu bola matanya penuh warna merah.

Dan dia berbisik: 

"Aku… enggak mau sendiri…”

***

Mata yang Menyimpan Rumah

Pagi itu, kabar duka beredar cepat di grup angkatan.

Mas Oboy meninggal.

Kabar itu membuat kantin Arsitektur sunyi. Biasanya ada Mas Oboy yang sering melempar candaan receh setiap lewat meja makan kantin. Sekarang, kursi bakso dekat meja kasir tempat dia biasa duduk, ditutup kain hitam.

“Katanya serangan jantung,” bisik Bu Ratna dari TU.

Tapi Rere tahu… malam sebelum Mas Oboy meninggal, dia melihat Nasa berdiri sendirian di depan gudang kantin. Tatapannya kosong. Dan matanya merah.


Vira, Rere, dan Dimas akhirnya sepakat. Ini bukan kebetulan. Mereka harus bicara langsung dengan Nasa. Tapi malam itu, kamar kos Nasa kosong. Pemilik kos bilang dia keluar sejak pagi dan belum pulang.

“Neng Nasa tuh anak baik sebenernya, cuma… kadang suka ngomong sendiri tengah malam,” ujar ibu kos pelan. “Pernah juga saya denger dia minta maaf... sambil nangis.”


Pencarian mereka berakhir di studio belakang, meski segelnya sudah jelas-jelas: DILARANG DIBUKA.

Tapi saat itu, pintunya terbuka sedikit. Seperti memang disiapkan.

Di dalam, ruangannya dingin. Semua meja diselimuti debu, kecuali satu: meja gambar tua di pojok ruangan. Di atasnya, ada kalkir lusuh dan garis-garis merah samar seperti bekas tangan.

Tiba-tiba Nasa muncul dari bayangan. Tubuhnya lemas, wajahnya seperti habis menangis berhari-hari.

“Aku enggak mau bikin kalian takut…” suaranya lirih. “Tapi ibu enggak pergi. Dia nunggu di sini.”

Semua terdiam.

“Aku kira… kalau aku kuat, aku bisa jalan sendiri. Tapi ternyata aku cuma pura-pura. Aku gambar rumah buat tugas, tapi yang sebenarnya aku cari... tempat buat ibu pulang.”

Nasa menatap mereka satu-satu. Di matanya, titik merah itu kini menyala samar. Tapi bukan menyeramkan. Lebih seperti... luka yang belum sembuh.

“Kadang, kita tak butuh tempat tinggal. Kita butuh seseorang yang bisa jadi rumah.”


Tiba-tiba, angin dingin berembus. Cahaya lampu di studio redup. Di cermin yang tergantung di dinding, muncul bayangan perempuan senyumnya lembut, matanya sendu.

Nasa mendekat. “Bu… udah cukup. Aku enggak sendiri lagi.”


Cermin itu retak perlahan. Dan saat retakannya menghilang, sosok di dalamnya juga lenyap. Udara mendadak hangat. Hening. Tenang.

Titik merah di mata Nasa perlahan memudar.


Malam itu, Vira, Rere dan Nasa duduk di tangga musholla kampus, menatap langit.

Nasa akhirnya tersenyum, bukan senyum kosong, tapi tulus. Matanya basah, tapi bersih.

"Terima kasih udah tetap di sini, walaupun aku aneh. Kadang kita cuma butuh satu orang yang mau duduk bareng kita dalam diam.”


BERSAMBUNG... 

Latest
Next Post

Lifestyle blogger, reviewer, content writer

0 comments: