Baca episode sebelumnya : Bagian 1 dan Bagian 2
Rumah yang Tidak Pernah Dibangun
Setelah malam itu, suasana kampus Teknik Arsitektur perlahan berubah. Studio belakang tetap dikunci, tapi tak ada lagi hawa dingin yang menyergap setiap mahasiswa yang lewat. Para dosen pun tampak lebih ringan langkahnya, seolah satu lapisan kabut tak kasat mata yang selama ini menyelimuti ruangan-ruangan tua itu akhirnya terangkat.
Vira dan Rere, yang dulu hanya melihat Nasa sebagai "mahasiswi baru aneh", kini melihat sosok yang berbeda. Mereka tahu Nasa bukan sekadar mahasiswa baru biasa yang sesekali diam dan sesekali tertawa. Ia adalah seseorang yang selama ini membawa luka, menyembunyikannya di balik garis-garis sketsa arsitektural, dan menguncinya dalam senyum palsu yang hanya muncul untuk menenangkan orang lain. Di balik semua itu, ia adalah anak perempuan yang belum benar-benar melepaskan ibunya.
Hari-hari berikutnya diisi dengan hal-hal kecil yang bermakna. Nasa mulai lebih sering duduk di tengah keramaian. Ia tidak lagi menarik diri ke tangga musholla saat senja, tapi ikut membantu Mas Didi, OB pengganti Alm. Mas Oboy, mengangkat gelas-gelas plastik bekas ke tempat sampah. Sesekali, ia bahkan bercanda. Candaan yang tidak menyeramkan, tapi hangat.
Namun bukan berarti semuanya kembali normal begitu saja. Di malam-malam tertentu, Vira masih mengaku mendengar suara langkah kaki di lorong studio belakang, padahal seharusnya tak ada siapa-siapa. Rere sendiri masih bermimpi berada di ruangan kosong dengan lampu redup, meski kini tidak ada lagi bayangan Nasa bermata merah.
Tapi mereka semua belajar menerima, bahwa ada hal-hal yang tidak bisa sepenuhnya dijelaskan. Ada luka yang tidak akan benar-benar sembuh, melainkan hanya berdamai. Dan itu tidak apa-apa.
Suatu sore, mereka bertiga duduk di kantin, memandangi maket besar yang sedang disusun untuk pameran tugas akhir semester. Nasa membuka sketsa lama milik almarhum Mas Oboy—ya, ternyata Mas Oboy pernah iseng menggambar desain rumah impiannya. Rumah kecil dengan halaman luas dan satu jendela besar di ruang tamu.
Nasa menatap gambar itu lama, lalu berkata, “Aku pingin bangun rumah ini suatu hari nanti. Tapi bukan buat aku. Buat orang-orang yang enggak punya tempat buat pulang.”
Kalimat itu membuat Vira terdiam. Rere menatap Nasa dalam-dalam. Di situ, mereka sadar: Nasa tidak lagi hanya ingin menggambar bangunan. Ia ingin membangun tempat yang punya arti. Dan mungkin, di tengah semua horor yang pernah mereka alami, itulah yang paling menyentuh. Seorang gadis muda yang kehilangan arah, kini ingin menjadi arah bagi orang lain.
Kampus perlahan kembali hidup. Mahasiswa sibuk dengan deadline, dosen kembali galak, kantin mulai kehabisan kopi lagi. Tapi di balik semua itu, mereka yang tahu cerita Nasa menyimpan kisah itu di dalam hati. Cerita tentang seorang gadis yang matanya pernah menyimpan titik merah, tapi hatinya menyimpan cinta yang terlalu besar untuk disimpan sendiri.
Beberapa bulan kemudian, Nasa membuat desain bangunan untuk lomba arsitektur antar-universitas. Judul proyeknya: “Rumah yang Tak Pernah Dibangun”. Desainnya menyerupai rumah kecil dalam sketsa Mas Oboy, tapi dengan tambahan taman kecil di belakang dan satu ruang yang hanya berisi cermin, bunga putih, dan dinding penuh kutipan.
“Luka tidak selalu harus disembuhkan. Kadang cukup diterima, dipeluk, dan diberi tempat untuk tinggal.”,
Nasa tidak memenangkan lomba itu. Tapi desainnya dipajang di lobi kampus. Setiap mahasiswa yang lewat bisa membacanya. Dan bagi mereka yang tahu cerita di baliknya, itu bukan sekadar desain. Itu adalah monumen keheningan, kehilangan, dan harapan.
Pagi itu, Nasa menatap pantulan dirinya di cermin gantung di kamar kosnya. Tidak ada titik merah lagi di matanya. Kalau Rere tidak cerita padanya, Nasa sendiri tidak pernah sadar saat kehadiran titik merah itu beberapa bulan yang lalu.
Di depan cermin, Nasa sedikit terkaget, lalu diam.
Ia akhirnya mengingat semuanya.
Selama ini, Nasa berpikir dirinya hanya “melihat-lihat”, menjadi saksi pasif dari keanehan di kampus Arsitektur: Mas Oboy jatuh dari tangga, pak Darto tukang sapu yang menghilang sore-sore, sketsa kak Dimas yang hilang, serta Diba yang teriak-teriak histeris di toilet. Tapi ternyata, Nasa selalu ada di sana.
Bukan secara fisik. Tapi sesuatu dalam dirinya yang berpindah-pindah tanpa ia sadari. Ia pikir ia sedang di kamar ketika Mas Oboy terjatuh. Tapi Farrel temannya pernah bilang, “Lo sempat numpang ngeprint pagi itu di lantai atas, kan?” Nasa membantah, tapi flashdisk-nya ditemukan di printer lantai itu. Ia pikir ia tak pernah bertemu tukang sapu itu, tapi namanya pernah tercatat di laporan kejadian di TU: “Mahasiswi Nasa memberi tahu bahwa Pak Darto sempat muntah di dekat studio.” Dan seterusnya...
Nasa pikir ia hanya lupa.
Padahal, ia dipakai.
Titik merah itu... penanda perantara. Ada entitas penghuni kampus yang tak bisa menyentuh dunia nyata tanpa tubuh—dan ia memilih orang-orang yang “tidak terlihat": mahasiswa baru yang pendiam, yang sedih berkepanjangan, atau yang sering melamun sendirian. Seperti Nasa.
Nasa menunduk. Ia tahu ini bukan tentang memilih lagi.
Ini soal waktu, karena kampus itu belum selesai memilih korban berikutnya.
TAMAT.