Jumat, 23 Mei 2025

Ada Titik Merah di Matanya (Bagian 3)

Baca episode sebelumnya : Bagian 1 dan Bagian 2

Rumah yang Tidak Pernah Dibangun

Setelah malam itu, suasana kampus Teknik Arsitektur perlahan berubah. Studio belakang tetap dikunci, tapi tak ada lagi hawa dingin yang menyergap setiap mahasiswa yang lewat. Para dosen pun tampak lebih ringan langkahnya, seolah satu lapisan kabut tak kasat mata yang selama ini menyelimuti ruangan-ruangan tua itu akhirnya terangkat. 


Tapi bagi Nasa, semua itu bukan sekadar perubahan suasana. Itu adalah akhir dari bab lama yang selama ini diam-diam membebaninya sejak hari pertama ia menginjakkan kaki di kampus ini, serta awal dari perjalanan baru yang lebih jujur.

Vira dan Rere, yang dulu hanya melihat Nasa sebagai "mahasiswi baru aneh", kini melihat sosok yang berbeda. Mereka tahu Nasa bukan sekadar mahasiswa baru biasa yang sesekali diam dan sesekali tertawa. Ia adalah seseorang yang selama ini membawa luka, menyembunyikannya di balik garis-garis sketsa arsitektural, dan menguncinya dalam senyum palsu yang hanya muncul untuk menenangkan orang lain. Di balik semua itu, ia adalah anak perempuan yang belum benar-benar melepaskan ibunya.


Hari-hari berikutnya diisi dengan hal-hal kecil yang bermakna. Nasa mulai lebih sering duduk di tengah keramaian. Ia tidak lagi menarik diri ke tangga musholla saat senja, tapi ikut membantu Mas Didi, OB pengganti Alm. Mas Oboy, mengangkat gelas-gelas plastik bekas ke tempat sampah. Sesekali, ia bahkan bercanda. Candaan yang tidak menyeramkan, tapi hangat. 

Rere memperhatikan, titik merah di mata itu benar-benar hilang. Seperti bercak tinta yang akhirnya larut setelah hujan panjang.

Namun bukan berarti semuanya kembali normal begitu saja. Di malam-malam tertentu, Vira masih mengaku mendengar suara langkah kaki di lorong studio belakang, padahal seharusnya tak ada siapa-siapa. Rere sendiri masih bermimpi berada di ruangan kosong dengan lampu redup, meski kini tidak ada lagi bayangan Nasa bermata merah. 

Tapi mereka semua belajar menerima, bahwa ada hal-hal yang tidak bisa sepenuhnya dijelaskan. Ada luka yang tidak akan benar-benar sembuh, melainkan hanya berdamai. Dan itu tidak apa-apa.


Suatu sore, mereka bertiga duduk di kantin, memandangi maket besar yang sedang disusun untuk pameran tugas akhir semester. Nasa membuka sketsa lama milik almarhum Mas Oboy—ya, ternyata Mas Oboy pernah iseng menggambar desain rumah impiannya. Rumah kecil dengan halaman luas dan satu jendela besar di ruang tamu.

Nasa menatap gambar itu lama, lalu berkata, “Aku pingin bangun rumah ini suatu hari nanti. Tapi bukan buat aku. Buat orang-orang yang enggak punya tempat buat pulang.”

Kalimat itu membuat Vira terdiam. Rere menatap Nasa dalam-dalam. Di situ, mereka sadar: Nasa tidak lagi hanya ingin menggambar bangunan. Ia ingin membangun tempat yang punya arti. Dan mungkin, di tengah semua horor yang pernah mereka alami, itulah yang paling menyentuh. Seorang gadis muda yang kehilangan arah, kini ingin menjadi arah bagi orang lain.


Kampus perlahan kembali hidup. Mahasiswa sibuk dengan deadline, dosen kembali galak, kantin mulai kehabisan kopi lagi. Tapi di balik semua itu, mereka yang tahu cerita Nasa menyimpan kisah itu di dalam hati. Cerita tentang seorang gadis yang matanya pernah menyimpan titik merah, tapi hatinya menyimpan cinta yang terlalu besar untuk disimpan sendiri.
Beberapa bulan kemudian, Nasa membuat desain bangunan untuk lomba arsitektur antar-universitas. Judul proyeknya: “Rumah yang Tak Pernah Dibangun”. Desainnya menyerupai rumah kecil dalam sketsa Mas Oboy, tapi dengan tambahan taman kecil di belakang dan satu ruang yang hanya berisi cermin, bunga putih, dan dinding penuh kutipan.


Salah satu kutipan di dinding itu berbunyi:

“Luka tidak selalu harus disembuhkan. Kadang cukup diterima, dipeluk, dan diberi tempat untuk tinggal.”, 

Nasa tidak memenangkan lomba itu. Tapi desainnya dipajang di lobi kampus. Setiap mahasiswa yang lewat bisa membacanya. Dan bagi mereka yang tahu cerita di baliknya, itu bukan sekadar desain. Itu adalah monumen keheningan, kehilangan, dan harapan.


Pagi itu, Nasa menatap pantulan dirinya di cermin gantung di kamar kosnya. Tidak ada titik merah lagi di matanya. Kalau Rere tidak cerita padanya, Nasa sendiri tidak pernah sadar saat kehadiran titik merah itu beberapa bulan yang lalu. 

Di depan cermin, Nasa sedikit terkaget, lalu diam.

Ia akhirnya mengingat semuanya.

Selama ini, Nasa berpikir dirinya hanya “melihat-lihat”, menjadi saksi pasif dari keanehan di kampus Arsitektur: Mas Oboy jatuh dari tangga, pak Darto tukang sapu yang menghilang sore-sore, sketsa kak Dimas yang hilang, serta Diba yang teriak-teriak histeris di toilet. Tapi ternyata, Nasa selalu ada di sana.

Bukan secara fisik. Tapi sesuatu dalam dirinya yang berpindah-pindah tanpa ia sadari. Ia pikir ia sedang di kamar ketika Mas Oboy terjatuh. Tapi Farrel temannya pernah bilang, “Lo sempat numpang ngeprint pagi itu di lantai atas, kan?” Nasa membantah, tapi flashdisk-nya ditemukan di printer lantai itu. Ia pikir ia tak pernah bertemu tukang sapu itu, tapi namanya pernah tercatat di laporan kejadian di TU: “Mahasiswi Nasa memberi tahu bahwa Pak Darto sempat muntah di dekat studio.” Dan seterusnya... 

Nasa pikir ia hanya lupa.

Padahal, ia dipakai. 

Titik merah itu... penanda perantara. Ada entitas penghuni kampus yang tak bisa menyentuh dunia nyata tanpa tubuh—dan ia memilih orang-orang yang “tidak terlihat": mahasiswa baru yang pendiam, yang sedih berkepanjangan, atau yang sering melamun sendirian. Seperti Nasa.

Nasa menunduk. Ia tahu ini bukan tentang memilih lagi.

Ini soal waktu, karena kampus itu belum selesai memilih korban berikutnya.


TAMAT. 

Latest
Next Post

Lifestyle blogger, reviewer, content writer

29 komentar:

  1. "Luka tidak selalu harus disembuhkan. Kadang cukup diterima, dipeluk, dan diberi tempat untuk tinggal"

    Ulalaaa, quote ini relatable banget dengan banyak orang.
    Kadang kita memaksakan utk "kudu sembuh, kudu kuat, kudu setrongg!"
    padahal, ya udah lah yaaa, "penerimaan" jauh lebih penting

    BalasHapus
  2. Duh, mencekam sekali ceritanya. Semoga tidak ada korban lagi ya. Biar mahasiswa disana bisa belajar tanpa ketakutan akan sosok makhluk yang tak kasat mata itu

    BalasHapus
  3. Hmmm ceritanya dalem banget mbak. Bukan cuma soal horor kampus, tapi tentang seseorang yang akhirnya berdamai dengan lukanya dan memilih untuk jadi tempat aman buat orang lain. Perjalanan Nasa dari "tidak terlihat" sampai jadi sosok yang sadar akan perannya tuh ngena banget. Dan meski titik merahnya hilang, bayangan tentang yang belum selesai itu tetap bikin merinding 😨

    BalasHapus
  4. Walah, ini Nasa akhirnya tetep kena dan jadi perantara lagi ya?
    Sayang banget, padahal dia udah mulai bisa move on dari masa lalunya secara perlahan, hiks.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho kok kesimpulannya mas Fajar beda? 😄

      Hapus
  5. Semacam kerasukan ya Nasa. Memang sih, ada pendapat yang bilang kalau kita jangan terlalu sering menyendiri, apalagi melamun. Soalnya, bisa diambil alih gitu katanya tubuhnya. Serem sih.

    BalasHapus
  6. Narasinya bagus banget, untuk tema yang sedikit mencekam ya. Tapi aku harus baca part I sama II dulu nih, apa bener sih ini cerita horor. Hehehe..

    Yang catch banget tuh tulisan di dindingnya. “Luka tidak selalu harus disembuhkan. Kadang cukup diterima, dipeluk, dan diberi tempat untuk tinggal.”

    Tapi pas part "Desainnya menyerupai rumah kecil dalam sketsa Mas Oboy, tapi dengan tambahan taman kecil di belakang dan satu ruang yang hanya berisi cermin, bunga putih, dan dinding penuh kutipan." bisa sedikit di 'nuansakan'. Misal : gambarnya serupa tapi tak sama dengan sketsa Mas Oboy. Sketsa miliknya memiliki tambahan taman kecil di belakang dengan rumput lembut; dan satu ruang yang tak terlalu besar---tapi di dalamnya ada cermin, bunga (lili putih, mawar, atau lainnya) dan dinding (kayu, tembok, cat putih, atau lainnya) yang penuh coretan penyemangat diri sendiri---yang membuat siapa saja merasa dipeluk kenyamanan.

    Overall, udah bagus ceritanya. Suka... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mba, komennya kayak juri hehe.. Tp makasih banget masukannya yaa. Memang masih harus bnyk belajar menata kata nih. Ayo dong baca part 1 & 2 nya juga biar dpt masukan para ahli 😉

      Hapus
  7. Wah, mungkin Nasa dapat mencari siapakah gerangan yang menggunakan dirinya dan apa yang dapat membuatnya berhenti mencari korban berikutnya? Atau Nasa akan melanjutkan hidupnya saja tanpa khawatir ia akan "digunakan" lagi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi ceritanya masih bersambung terus ya mbak? 😁

      Hapus
  8. Wah udah tamat aja. Padahal di kampus itu perjalanan Nasa masih bisa banyak membawa cerita juga kan?
    Apakah karena Nasa udah "sadar" jadi itu dibutuhkan ending?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cari ide dulu teh, untuk bikin cerita sekuelnya hihi..

      Hapus
  9. Waaah semoga tidak ada lagi pelajar yg dimanfaatkan oleh si makhluk ya ... Serem juga. Itulah kenapa kita dinasehatin jgn sampai pikiran kosong, Krn jadi mudah di masuki.

    Sukaa deh dengan bentuk rumah yg di atas. Juga Kata2 motivasi yg tertempel. 👍👍

    BalasHapus
  10. Sampai kapan pun luka kayaknya nggak bisa benar-benar sembuh. Dengan menerima semua luka kita merasa bisa lebih semangat hidup dan melangkah lagi. Semangat yaaa.

    BalasHapus
  11. Membaca " kehilangan arah, kini ingin menjadi arah bagi orang lain" rasaku bergetar. Membangunkan mimpi yang sedang kutidurkan sementara.

    Sebagai pengambat hidup dan pengembangan diri, luka menurutku tidak akan pernah bisa hilang. Dia selalu ada tapi berpedaannya bagaimana menerimanya itu sebagai seuatu yang baik itu lebih penting.

    Terima kasih untuk tulisan menyentuh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku belajar dari mba Nik lho merangkai rasa dalam aksara. Terimakasih juga sudah
      membaca dan menyelami cerita ini

      Hapus
  12. Misteri titik merah ternyata terjawab, plot twist banget ini sih. Kasian sekali Nasa dimanfaatkan oleh mahluk jahat untuk melakukan hal-hal tidak baik. Syukurlah Nasa kembali ingat dan sebetulnya suasana kampus mulai lebih baik walaupun ternyata masih akan ada korban lain, duhhh tamat yak. Ku nantikan cerita lainnya 👍.

    BalasHapus
  13. NASA, mengapa kamu tamat kisahnya? huhu.
    Cerita ini jadi perhatian kita juga ya, bahwa memang gak baik kebanyakan melamun. Lebih baik beraktivitas atau zikiran sehingga pikiran gak kosong, kayak Nasa huhu

    BalasHapus
  14. wah.. akhirnya tamata juga cerita Nasa. Jadi Nasa memang jadi perantara ya. tapi semoga cukup Nasa yang terakhir. jangan ada mahasiswi baru yang mengalami. Dan kuncinya memang jangan memilih sendiri. Di kampus pasti ada teman yang sesuai dan sejalan dengan kita. karena kalau pikiran kosong, di situlah celah masuk untuk dijadikan perantara.

    BalasHapus
  15. Titik merah itu tanda dari hantunya gitu? Daku baca dari part 1. Sempet suuzon ama Nasa, ternyata bukan dia pelaku sebenarnya. Maapkan yaa.

    BalasHapus
  16. akhirnya muncul juga part 3-nya, saya ngikutin ceritanya dan akhirnya tamat juga. Ada pesan mendalam ya dari cerita ini soal trauma atau luka lama gitu, dan pas baca bagian "ku pingin bangun rumah ini suatu hari nanti. Tapi bukan buat aku. Buat orang-orang yang enggak punya tempat buat pulang" jleb banget, seperti sedang berkaca, melihat banyak orang yang ga punya tempat pulang, sama dengan Nasa saya pun bermimpi bisa membangun rumah untuk mereka

    BalasHapus
  17. Alhamdulillaah..
    Akhirnya Nasa kembali normal, tanpa titik merah di matanya.

    Aku suka endiingnya yang menggambarkan keseluruhan konklusi dari segenap rangkaian kisah misteri selama ini di kampus.
    Bak kejadian nyata, setiap karakter memiliki perannya masing-masing dalam hidup.

    BalasHapus
  18. Wah seru nih. Tapi aku belom baca part sebelomnya. Kudu ngejar nih biar tahu cerita utuhnya. Paling suka deh dengan cerita misteri kayak gini. Ok, aku gali ke part sebelomnya dulu.

    BalasHapus
  19. Cerita horor dengan latar belakang dunia kuliah arsitektur begini mengingatkanku waktu kuliah dulu. Lagi gambar di studio, ada kawan yang gambarnya dicoret makhluk tak kasat mata. Padahal besok mesti presentasi perancangan. Nangis lah malem-malem...
    Btw, nyoba buka bagian 1 dan 2 kok ga bisa ya kak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah iya sempat error linknya. Makasih infonya Kak. Udh bisa di klik sekarang dari paragraf di atas. Atau bisa juga klik bagian 1 & 2 itu dari related post.

      Ternyata ada kisah horror nyata serupa di studio kampus arsitek ya.. Seremm 😱

      Hapus
  20. Tak bisa dipungkiri makhluk tak kasat mata memang ada dan 'berkeliaran' ya. Semoga Nasa gak jadi korban lagi. Hhmm atau mungkin Nasa digunakan lagi? Atau ada mahasiswa lain yang mungkin ternyata juga mengalami hal serupa dengan Nasa ?
    Kayaknya harus ada sambungannya lagi hehehe

    BalasHapus
  21. gaya menulismu tuh bikin aku betah scroll sampai akhir. Ada nuansa misterius yang halus tapi nancep. Ceritanya makin bikin penasaran! Kapan lanjutannya?

    BalasHapus
  22. Sempat terpikir apakah mungkin tujuan memakai tubuh perantara ini adalah untuk tujuan baik seperti memberitahukan adanya bahaya, tapi ternyata .... Wah, tidak terduga akhir ceritanya!

    BalasHapus