Rabu, 06 April 2022

Hari Down Syndrome Dunia: Lawan Stigma Karena Semua Setara


Ibu yang terpilih itu bernama Dinda

Tujuh tahun silam, Dinda menikah dengan Randy (keduanya nama samaran), setelah mereka saling mengenal sebagai teman kerja selama 5 tahun. Setahun pernikahan, pasangan ini dikaruniai Amanda, seorang anak spesial yang terdiagnosa Down Syndrome.

Setelah kelahiran Amanda, seketika hidup pasangan suami-istri itu berubah total. Keluarga besar Randy yang berasal dari kalangan "terpelajar" tidak menerima kehadiran Amanda sebagai keluarga. Alasannya, tidak mencerminkan terpelajarnya keluarga itu.

 “Itu bukan anak Randy! Tidak ada riwayat  genetik dalam keluarga kami yang mewarisi kelainan seperti itu,” sahut Ibunda Randy.

Randy sebagai ayah Amanda, tak kuasa membela darah dagingnya sendiri. Ini karena tekanan keluarga besarnya yang terus menerus memaksakan opini, salah satunya keyakinan bahwa kehadiran Amanda merupakan pertanda buruk, atau karena adanya kutukan keluarga Dinda. Penolakan keluarga tersebut pada akhirnya membuat Randy merasa bahwa memiliki anak down syndrome adalah aib yang harus ditutup rapat-rapat. Amanda disembunyikan dari publik.

Kehadiran buah hati sejatinya memberikan kebahagiaan tersendiri. Namun hati dan  perasaan Dinda hancur berantakan. Kesedihannya serasa tak berujung karena Dinda harus merawat Amanda sendirian, sambil menerima perundungan dan cercaan dari keluarga suaminya. Tapi Allah tidak pernah keliru. Ia Maha Tahu siapa yang kuat. Dinda memang ibu yang dipilih-Nya untuk membesarkan bayi spesial itu.

Dinda yang awalnya sulit menerima kenyataan bahwa putrinya menyandang Down Syndrome, lama-lama dapat ikhlas menerima amanah Yang Maha Kuasa. Ia bangkit dan bertekad  membesarkan Amanda dengan penuh kasih sayang dengan segenap kemampuannya.

Namun takdir usia Amanda singkat di dunia. Akibat kelainan jantung yang menyertainya, Amanda berpulang di usia 5 tahun. Tepat sebulan sebelum kepergian Amanda, Randy menceraikan Dinda atas desakan keluarganya.

Ini bukan kisah rekaan. Keluarga teman saya mengalaminya.

Mengenal Down Syndrome

Ada banyak Amanda lain di Indonesia maupun di dunia. Masih banyak pula kasus diskriminasi serta stigma terhadap para penyandang down syndrome dan orang tuanya, hingga saat ini.

Down Sydrome atau Sindrom Down adalah kelainan genetik yang terjadi sejak masa embrio. Embrio normal umumnya menghasilkan 2 salinan kromosom 21. Pada kasus sindrom down, terjadi kesalahan pembelahan sel sehingga menghasilkan salinan 3 kromosom 21 (trisomi 21). Bayi yang lahir dengan kelainan ini punya 47 kromosom, bukan 46 kromosom seperti biasanya.

Tambahan kromosom tersebut mempengaruhi tumbuh kembang anak, menimbulkan ciri yang khas pada struktur wajah, postur tubuh, dan perbedaan ciri fisik lainnya. Orang dengan sindrom ini dapat dikenali dari profil wajahnya yang agak datar dan miring ke atas. Selain tanda fisik, anak yang terlahir dengan kelainan ini juga mengalami keterbatasan mental, gangguan pembelajaran, juga perkembangan perilaku dan kemampuan yang berbeda dari orang normal.

WHO melaporkan, terdapat 1 kejadian sindrom down per 1000-1100 kelahiran di dunia. Dan setiap tahunnya, ada 3000 hingga 5000 anak lahir dengan kelainan ini di seluruh dunia.

Di Indonesia kasusnya  tercatat mengalami peningkatan. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), proporsi kasus sindrom down pada anak meningkat menjadi 0,21% pada tahun 2018.

Dengan membawa filosofi keunikan 3 salinan kromosom 21  itu, setiap tanggal 21 Maret diperingati sebagai Hari Down Syndrome Dunia (HDSD) atau World Down Syndrome Day (WDSD).

Talkshow Ruang Publik KBR

Rabu, 30 Maret 2022 lalu saya menyimak Talkshow Youtube Live di Ruang Publik KBR yang bertajuk Lawan Stigma untuk Dunia yang Setara.


Acara tersebut merupakan kampanye dari NLR Indonesia, organisasi yang fokus pada isu kusta dan pembangunan yang inklusi untuk disabilitas, salah satunya terhadap penyandang down syndrome. Kampanye ini diangkat dalam rangka peringatan Hari Down Syndrome Dunia.

Hadir sebagai narasumber ada dr. Oom Komariah, M.Kes dari POTADS (Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome) sekaligus Ketua Pelaksana Hari Down Syndrome Dunia 2022 dan Uswatun Khasanah (Uswah) dari NLR Indonesia, yang juga merupakan Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK).

Kusta, down syndrome dan ragam disabilitas lainnya sering memperoleh hambatan di masyarakat, tidak mendapat kesempatan yang sama seperti masyarakat lainnya dalam berbagai aspek. Misalnya, dalam hal pergaulan, pendidikan, dan pekerjaan. Padahal, mereka juga memiliki potensi yang jika digali dan dikembangkan dapat menghasilkan manfaat.

Uswah dalam pemaparannya mengisahkan dirinya saat mengidap kusta jenis basah. Ini membuatnya merasa sedih, merasa tidak layak, dan tidak mampu, akibat dikucilkan semasa sekolah. Namun diskriminasi ini membuatnya ingin sembuh dan ingin membuktikan bahwa anggapan masyarakat terhadap penderita kusta itu keliru. 

Uswah pun disiplin mengikuti anjuran dokter dan mengonsumsi obat-obat yang diresepkan hingga 6 bulan lamanya. Saat ini Uswah aktif berkampanye menyuarakan program-program NLR yang meliputi : Zero Transmisi, Zero Disbilitas, Zero Eksklusi. 

Menurut Uswah, diperlukan edukasi terus-menerus melalui kampanye dan literasi kepada masyarakat, agar tidak ada yang berpikiran sempit, khususnya mengenai penderita kusta. Lebih jauh tentang aktivitas NLR Indonesia dapat dilihat di website nlrindonesia.or.id.

Sementara itu, dr. Oom yang merupakan orang tua dari anak pengidap Down Syndrome, juga merasakan bagaimana sedihnya dan tersingkir dari lingkungan. Namun ia kemudian bangkit dan berusaha mengembangkan kemampuan anaknya, saat menyadari bahwa jika dilatih sejak dini, si anak pun dapat dikembangkan berbagai potensinya seperti anak-anak  pada umumnya.

Anak sindrom down cenderung malas karena adanya hipotonus (lemah otot). Oleh karena itu penderita harus terus diberikan stimulasi oleh keluarga atau pendampingnya. 

Berbagi pengalaman pribadinya, dr. Oom menjelaskan, bahwa jika ada salah satu anggota keluarga yang diketahui mengidap down syndrome, jangan diam saja. “Segeralah ke klinik tumbuh kembang, gabung dengan komunitas,” tutur  dr. Oom mengingatkan.

Komunitas menurut dr. Oom menjadi penting karena di sana orang tua atau keluarga penyandang disabilitas dapat memperoleh informasi yang tepat dari orang yang berpengalaman. Dari komunitas kita dapat mengetahui terapi yang tepat, sekolah untuk anak down syndrome, dan informasi penting lainnya. Komunitas juga dapat saling menguatkan antar anggotanya dengan berbagi pengalaman positif.


POTADS sebagai komunitas memiliki program Rumah Ceria Down Syndrome, tempat untuk anak dapat beraktivitas dan mengembangkan potensinya melalui berbagai kegiatan seni, olah raga, bermain, dan belajar bersama. POTADS saat ini memiliki 10 cabang di seluruh Indonesia dan informasi mengenai down syndrome maupun kegiatan komunitas dapat diakses di media sosialnya di Facebook, Instagram, maupun website potads.or.id.

Yuk, kita bersama melawan stigma terhadap kusta, down syndrome maupun disabilitas lainnya. Kita semua sama-sama manusia di hadapan Sang Pencipta. Semoga tidak ada lagi cerita seperti sepenggal kisah Dinda di awal artikel ini.

Previous Post
Next Post

Lifestyle blogger, reviewer, content writer

12 komentar:

  1. Edukasi seperti ini sangat penting supaya stigma di masyarakat berubah. Tidak ada lagi kejadian seperti kasus Dinda

    BalasHapus
  2. Sedihnya baca kisah di atas, Mbak :(
    Memang masih ada stigma negatif pada penyandang down syndrome ya padahal mereka itu unuk bukan berarti tak ada kelebihannya, lho ... mereka punya kelebihan juga, Allah pasti menganugerahkan kelebihan dan keterbatasan pada setiap orang.
    Begitu pun dengan kusta .. masih perlu disuarakan edukasi untuk membuat makin banyak yang melek tentang kesetaraan.

    BalasHapus
  3. Sedih ya kalau penderita kusta dan anak yang mengalami DS dikucilkan padahal siapa sih yang mau sakit, semestinya masyarakat merangkul dan mendukung jika ada penderita..

    BalasHapus
  4. Ya Allah betapa sedihnya anak yang kita lahirkan tidak diakui. Anak itu anugerah ya kita tidak bisa memilih anak seperti apa yang kita mau, kalau bisa memilih pastinya maunya sehat komplit ya kan.

    Seorang anak juga demikian dia gabisa memilih orang tua mana yang jd orang tuanya.

    Semoga stigma di Masyarakat segera pudar karena itu sesuatu yg Allah ciptakan

    BalasHapus
  5. Sedih banget,diceraikan sebulan sebelum putrinya meninggal. Maafkan saya agak kesal sama Rendy. Anak yang istimewa insyaalah diamanahkan pada orang tua yang istemewa juga.

    BalasHapus
  6. ini kok kayak pengalaman aku banget ya ... kebetulan anak pertama ku juga Ds ... butuh waktu lama untuk mengikhlaskan keadaan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah orang tua hebat.. semoga sehat² selalu ya kak

      Hapus
  7. Gemes memang klo menghadapi orang yg menyangkal spt kluarga Randy, namanya juga takdir gak bisa disalahin baik ibu atau anaknya, semoga stigma jelek thd down syndrome ini semakin berkurang ya

    BalasHapus
  8. Ah Dinda...semangat ya!! bangga aku dengan adanya POTADS sebagai komunitas memiliki program Rumah Ceria Down Syndrome, tempat untuk anak dapat beraktivitas dan mengembangkan potensinya melalui berbagai kegiatan jadi keberadaan mereka tetap diakui, dirangkul karena memang memiliki hak yang sama seperti anak pada umumnya.

    BalasHapus
  9. Anak temanku down syndrome. Waktu baru lahir dokternya menvonis hidupnya ga bakal lama. Tuhan berkehendak lain. Anak itu sekarang seusia TK.

    BalasHapus
  10. Emang nggak sedikit kasus seperti Dinda. Bahkan ketika anak seperti dek Amanda beranjak dewasa mungkin dia akan mendapatkan perundungan atau malah terkucilkan dari pergaulan. Sedih sih. Apalagi kalau ada orang tua yang nggak support.

    BalasHapus
  11. Sedih sekali memang.
    Ujian yang paling sulit adalah menerima bahwa salah satu anggota ada yang mengalami down syndrome. Tapi setiap ujian pastilah ada jalan keluarnya. Semoga dengan edukasi yang baik, maka orangtua bergabung di POTADS dan program Rumah Ceria Down Syndrome bisa saling menguatkan.

    BalasHapus