Ibu yang terpilih itu bernama Dinda
Tujuh tahun silam, Dinda menikah dengan Randy (keduanya nama
samaran), setelah mereka saling mengenal sebagai teman kerja selama 5 tahun.
Setahun pernikahan, pasangan ini dikaruniai Amanda, seorang anak spesial yang
terdiagnosa Down Syndrome.
Setelah kelahiran Amanda, seketika hidup pasangan
suami-istri itu berubah total. Keluarga besar Randy yang berasal dari kalangan
"terpelajar" tidak menerima kehadiran Amanda sebagai keluarga.
Alasannya, tidak mencerminkan terpelajarnya keluarga itu.
“Itu bukan anak
Randy! Tidak ada riwayat genetik dalam
keluarga kami yang mewarisi kelainan seperti itu,” sahut Ibunda Randy.
Randy sebagai ayah Amanda, tak kuasa membela darah
dagingnya sendiri. Ini karena tekanan keluarga besarnya yang terus menerus
memaksakan opini, salah satunya keyakinan bahwa kehadiran Amanda merupakan
pertanda buruk, atau karena adanya kutukan keluarga Dinda. Penolakan keluarga
tersebut pada akhirnya membuat Randy merasa bahwa memiliki anak down syndrome
adalah aib yang harus ditutup rapat-rapat. Amanda disembunyikan dari publik.
Kehadiran buah hati sejatinya memberikan kebahagiaan
tersendiri. Namun hati dan perasaan
Dinda hancur berantakan. Kesedihannya serasa tak berujung karena Dinda harus
merawat Amanda sendirian, sambil menerima perundungan dan cercaan dari keluarga
suaminya. Tapi Allah tidak pernah keliru. Ia Maha Tahu siapa yang kuat. Dinda
memang ibu yang dipilih-Nya untuk membesarkan bayi spesial itu.
Namun takdir usia Amanda singkat di dunia. Akibat kelainan
jantung yang menyertainya, Amanda berpulang di usia 5 tahun. Tepat sebulan
sebelum kepergian Amanda, Randy menceraikan Dinda atas desakan keluarganya.
Ini bukan kisah rekaan. Keluarga teman saya mengalaminya.
Mengenal Down Syndrome
Ada banyak Amanda lain di Indonesia maupun di dunia. Masih banyak pula kasus diskriminasi serta
stigma terhadap para penyandang down syndrome dan orang tuanya, hingga saat ini.
Down Sydrome atau Sindrom Down adalah kelainan genetik yang
terjadi sejak masa embrio. Embrio normal umumnya menghasilkan 2 salinan
kromosom 21. Pada kasus sindrom down, terjadi kesalahan pembelahan sel sehingga
menghasilkan salinan 3 kromosom 21 (trisomi 21). Bayi yang lahir dengan
kelainan ini punya 47 kromosom, bukan 46 kromosom seperti biasanya.
Tambahan kromosom tersebut mempengaruhi tumbuh kembang anak,
menimbulkan ciri yang khas pada struktur wajah, postur tubuh, dan perbedaan
ciri fisik lainnya. Orang dengan sindrom
ini dapat dikenali dari profil wajahnya yang agak datar dan
miring ke atas. Selain tanda fisik, anak yang terlahir dengan kelainan ini juga
mengalami keterbatasan mental, gangguan pembelajaran, juga perkembangan perilaku dan
kemampuan yang berbeda dari orang normal.
WHO melaporkan,
terdapat 1 kejadian sindrom down per 1000-1100 kelahiran di dunia. Dan setiap
tahunnya, ada 3000 hingga 5000 anak lahir dengan kelainan ini di seluruh dunia.
Di Indonesia kasusnya tercatat mengalami peningkatan. Berdasarkan
data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), proporsi kasus sindrom down pada anak meningkat
menjadi 0,21% pada tahun 2018.
Dengan membawa filosofi keunikan 3 salinan kromosom 21 itu, setiap tanggal 21 Maret diperingati
sebagai Hari Down Syndrome Dunia (HDSD) atau World Down Syndrome Day (WDSD).
Talkshow Ruang Publik KBR
Rabu, 30 Maret 2022 lalu saya menyimak Talkshow Youtube Live di Ruang Publik KBR yang bertajuk Lawan Stigma
untuk Dunia yang Setara.
Acara tersebut merupakan kampanye dari NLR Indonesia, organisasi
yang fokus pada isu kusta dan pembangunan yang inklusi untuk disabilitas, salah
satunya terhadap penyandang down syndrome. Kampanye ini diangkat dalam rangka
peringatan Hari Down Syndrome Dunia.
Hadir sebagai narasumber ada dr. Oom Komariah, M.Kes dari POTADS
(Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome) sekaligus Ketua Pelaksana Hari
Down Syndrome Dunia 2022 dan Uswatun Khasanah (Uswah) dari NLR Indonesia, yang
juga merupakan Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK).
Kusta, down syndrome dan ragam disabilitas lainnya sering
memperoleh hambatan di masyarakat, tidak mendapat kesempatan yang sama seperti
masyarakat lainnya dalam berbagai aspek. Misalnya, dalam hal pergaulan, pendidikan,
dan pekerjaan. Padahal, mereka juga memiliki potensi yang jika digali dan dikembangkan
dapat menghasilkan manfaat.
Uswah dalam pemaparannya mengisahkan dirinya saat mengidap kusta jenis basah. Ini membuatnya merasa sedih, merasa tidak layak, dan tidak mampu, akibat dikucilkan semasa sekolah. Namun diskriminasi ini membuatnya ingin sembuh dan ingin membuktikan bahwa anggapan masyarakat terhadap penderita kusta itu keliru.
Uswah pun disiplin mengikuti anjuran dokter dan mengonsumsi obat-obat yang diresepkan hingga 6 bulan lamanya. Saat ini Uswah aktif berkampanye menyuarakan program-program NLR yang meliputi : Zero Transmisi, Zero Disbilitas, Zero Eksklusi.
Menurut Uswah, diperlukan edukasi terus-menerus melalui kampanye dan literasi kepada masyarakat, agar tidak ada yang berpikiran sempit, khususnya mengenai penderita kusta.
Lebih jauh tentang aktivitas NLR Indonesia dapat dilihat di website
nlrindonesia.or.id.
Sementara itu, dr. Oom yang merupakan orang tua dari anak
pengidap Down Syndrome, juga merasakan bagaimana sedihnya dan tersingkir dari lingkungan. Namun ia kemudian bangkit dan berusaha mengembangkan
kemampuan anaknya, saat menyadari bahwa jika dilatih sejak dini, si anak pun dapat
dikembangkan berbagai potensinya seperti anak-anak pada umumnya.
Anak sindrom down cenderung malas karena adanya hipotonus (lemah otot). Oleh karena itu penderita harus terus diberikan stimulasi oleh keluarga atau pendampingnya.
Berbagi pengalaman pribadinya, dr. Oom menjelaskan,
bahwa jika ada salah satu anggota keluarga yang diketahui mengidap down
syndrome, jangan diam saja. “Segeralah ke klinik tumbuh kembang, gabung dengan
komunitas,” tutur dr. Oom mengingatkan.
Komunitas menurut dr. Oom menjadi penting karena di sana
orang tua atau keluarga penyandang disabilitas dapat memperoleh informasi yang
tepat dari orang yang berpengalaman. Dari komunitas kita dapat mengetahui terapi
yang tepat, sekolah untuk anak down syndrome, dan informasi penting lainnya.
Komunitas juga dapat saling menguatkan antar anggotanya dengan berbagi
pengalaman positif.
POTADS sebagai komunitas memiliki program Rumah Ceria Down Syndrome,
tempat untuk anak dapat beraktivitas dan mengembangkan potensinya melalui
berbagai kegiatan seni, olah raga, bermain, dan belajar bersama. POTADS saat ini
memiliki 10 cabang di seluruh Indonesia dan informasi mengenai down syndrome
maupun kegiatan komunitas dapat diakses di media sosialnya di Facebook, Instagram, maupun website potads.or.id.
Yuk, kita bersama melawan stigma terhadap kusta, down syndrome maupun disabilitas lainnya. Kita semua sama-sama manusia di hadapan Sang Pencipta. Semoga tidak ada lagi cerita seperti sepenggal kisah Dinda di awal artikel ini.
Edukasi seperti ini sangat penting supaya stigma di masyarakat berubah. Tidak ada lagi kejadian seperti kasus Dinda
BalasHapusSedihnya baca kisah di atas, Mbak :(
BalasHapusMemang masih ada stigma negatif pada penyandang down syndrome ya padahal mereka itu unuk bukan berarti tak ada kelebihannya, lho ... mereka punya kelebihan juga, Allah pasti menganugerahkan kelebihan dan keterbatasan pada setiap orang.
Begitu pun dengan kusta .. masih perlu disuarakan edukasi untuk membuat makin banyak yang melek tentang kesetaraan.
Sedih ya kalau penderita kusta dan anak yang mengalami DS dikucilkan padahal siapa sih yang mau sakit, semestinya masyarakat merangkul dan mendukung jika ada penderita..
BalasHapusYa Allah betapa sedihnya anak yang kita lahirkan tidak diakui. Anak itu anugerah ya kita tidak bisa memilih anak seperti apa yang kita mau, kalau bisa memilih pastinya maunya sehat komplit ya kan.
BalasHapusSeorang anak juga demikian dia gabisa memilih orang tua mana yang jd orang tuanya.
Semoga stigma di Masyarakat segera pudar karena itu sesuatu yg Allah ciptakan
Sedih banget,diceraikan sebulan sebelum putrinya meninggal. Maafkan saya agak kesal sama Rendy. Anak yang istimewa insyaalah diamanahkan pada orang tua yang istemewa juga.
BalasHapusini kok kayak pengalaman aku banget ya ... kebetulan anak pertama ku juga Ds ... butuh waktu lama untuk mengikhlaskan keadaan
BalasHapusWah orang tua hebat.. semoga sehat² selalu ya kak
HapusGemes memang klo menghadapi orang yg menyangkal spt kluarga Randy, namanya juga takdir gak bisa disalahin baik ibu atau anaknya, semoga stigma jelek thd down syndrome ini semakin berkurang ya
BalasHapusAh Dinda...semangat ya!! bangga aku dengan adanya POTADS sebagai komunitas memiliki program Rumah Ceria Down Syndrome, tempat untuk anak dapat beraktivitas dan mengembangkan potensinya melalui berbagai kegiatan jadi keberadaan mereka tetap diakui, dirangkul karena memang memiliki hak yang sama seperti anak pada umumnya.
BalasHapusAnak temanku down syndrome. Waktu baru lahir dokternya menvonis hidupnya ga bakal lama. Tuhan berkehendak lain. Anak itu sekarang seusia TK.
BalasHapusEmang nggak sedikit kasus seperti Dinda. Bahkan ketika anak seperti dek Amanda beranjak dewasa mungkin dia akan mendapatkan perundungan atau malah terkucilkan dari pergaulan. Sedih sih. Apalagi kalau ada orang tua yang nggak support.
BalasHapusSedih sekali memang.
BalasHapusUjian yang paling sulit adalah menerima bahwa salah satu anggota ada yang mengalami down syndrome. Tapi setiap ujian pastilah ada jalan keluarnya. Semoga dengan edukasi yang baik, maka orangtua bergabung di POTADS dan program Rumah Ceria Down Syndrome bisa saling menguatkan.