Senin, 26 Agustus 2019

Misteri KRL Gerbong Wanita

Ini kisah nyata.

Hihihi... Tenang, saya bukan mau cerita horor sih. Cuma sedikit pengalaman misterius yang membekas.

Sebagai anak kereta (baca: pengguna setia KRL Commuter Line), saya menyambut baik adanya gerbong khusus wanita yang sudah ada beberapa tahun itu. Ini mengingat ketidaknyamanan saat berdesakan-desakan dengan lawan jenis. Belum lagi seringnya terjadi kasus pelecehan di gerbong kereta yang bercampur antara pria dan wanita.

Untuk yang belum tau, kereta KRL Commuter Line Jabodetabek punya gerbong khusus wanita di rangkaian paling depan dan terakhir. Pria dilarang masuk ke sini, kalau nekat bisa dipelototin dan dicaci-maki segerbong sampai lemes (wakakak, lebay..).

Awalnya saya semangat menaiki gerbong wanita ini, terutama yang bagian depan. Ini karena setiap pagi naik Commuter Line, saya turun di Stasiun Tebet yang pintu keluarnya di depan. Jadi untuk mempersingkat jalan kaki, saya naik di gerbong 1, yang merupakan gerbong khusus wanita itu.

Tapi lama-lama saya agak kurang nyaman di gerbong itu. Mungkin karena banyak peminatnya, jadi waktu turun di stasiun, seringnya terdorong-dorong berebutan. Lalu beberapa kali saya melihat ada yang bertengkar mulut karena hal sepele, seperti tidak mau bergeser, gak sengaja terinjak, dsb. Ditambah lagi saya jarang dapat duduk, tak ada yang mau mengalah karena sama-sama wanita. Hahaha. Wanita...

Akhirnya saya bergeser ke gerbong 2. Sama padatnya, tapi saya lebih sering dapat duduk. Hehehe.

Gerbong khusus wanita KRL Commuter Line

Dan.. muncullah cerita-cerita itu. Konon, di gerbong khusus wanita egonya tinggi. Tak ada yang mau mengalah (untuk memberi duduk), bahkan untuk orang yang membutuhkan (ibu hamil, orang lanjut usia, & disabilitas). Bukan 1 - 2 cerita, tapi banyak cerita-cerita tentang ini.

Lalu saya mengalaminya sendiri.

Cerita Misteri Pertama

Belum lama ini saya naik kereta di gerbong khusus wanita bagian depan dari stasiun Cawang, karena keburu-buru hampir ketinggalan. Gak terlalu padat berdesakan, tapi penuh. Berdiri dekat jendela bikin saya bisa memperhatikan orang-orang yang duduk di bangku panjang kapasitas 7-8 orang itu. Yang duduk, merem semua haha...  Dua orang yang duduk tergolong lansia, sisanya masih muda, normal dan terlihat sehat.

Sambil kereta terus melaju, saya perhatikan lagi orang yang berdiri. Sebagian besar sibuk dengan gawainya. Lalu pandangan saya tertuju ke seseorang yang perutnya terlihat gendut. Dia kelihatan tenang aja berdiri. Saya ragu-ragu mau tanya apakah dia sedang hamil atau nggak... (berhubung orang yang obesitas juga kerap terlihat seperti hamil hehe). Gak lama, dia mengelus-elus perutnya. Gaya-gayanya bumil ini mah.

Langsung aja saya tanya : "Mbak, lagi hamil?" Yang ditanya mengangguk.

"Kenapa gak minta duduk? Kuat?", saya lanjut tanya.

"Gapapa, males mintanya", kata si mbak sambil senyum kecut.

"Turun di mana?", tanya saya lagi.

"Bogor", jawabnya.

Bumil berdiri di gerbong khusus wanita

Saat itu baru tiba di stasiun Pasar Minggu, yang jaraknya masih 11 stasiun dari Bogor, atau sekitar 40 menit lagi. Ulala.

Itu percakapan lumayan kenceng suaranya, tapi orang muda yang duduk di depannya tak bergeming. Nunduk, merem, tapi nampaknya tak tidur, karena sebelumnya saya perhatikan dia melihat ke jendela di belakangnya. Sementara orang yang duduk sebelahnya fokus menatap gadget tanpa peduli sekeliling.

Spontan saya berujar keras: "Ada yang bisa kasih duduk? Ada ibu hamil..."

Magic! Gak ada yang bergeming lho!

Cerita Misteri Kedua

Biasanya, pulang kantor dengan berdiri di KRL tidak masalah buat saya. Tapi kali itu agak bermasalah karena kaki terkilir hari sebelumnya.

Maka, hari itu saya benar-benar butuh duduk di KRL, supaya gak nambah sakitnya. Saya juga gak kuat jalan terlalu jauh... So, saya berniat naik di gerbong wanita depan aja yang paling dekat dengan pintu masuk stasiun Cawang.

Antrian masuk gerbong khusus wanita

Saat berhasil masuk di kereta yang lumayan padat itu, saya langsung minta duduk ke orang-orang yang duduk di kursi panjang.

"Maaf, boleh minta gantian duduk? Kaki saya sakit, gak kuat berdiri lama", kata saya.

Tak ada yang bergerak/berdiri. Saya positif thinking aja, mungkin orang-orang yang duduk sama seperti saya, sedang sakit semua. Karena tak ada satupun yang terlihat sedang hamil.

Tiba-tiba yang duduk di ujung nyaut: "Bu, kalau perlu duduk cari di bangku prioritas aja".

Saya diam. Lihat kiri kanan, susah gerak, gimana mau geser ke bangku prioritas yang letaknya tertutup orang-orang padat berdiri? Sementara penumpang berdiri lainnya tak ada satupun yang nampak berniat membantu saya. Ada apa gerangan yak?

Dua stasiun berlalu, saya masih berdiri. Ketika mulai banyak yang turun, terlihat seorang petugas KRL di sambungan gerbong wanita dan gerbong campur.

Saya melambaikan tangan sambil teriak: "Pak! Tolong bantu cari tempat duduk dong... Kaki saya sakit." 

Petugas langsung  nyamperin  saya dan mengarahkan untuk bergeser ke gerbong sebelahnya.

Katanya: "Di gerbong sini aja bu. Susah kalo di gerbong wanita mah. Saya juga bingung mintanya."

Nah, petugasnya aja udah nyerah duluan. Ngeri amat.. Ih, kok bisa begitu? Apakah orang-orang egois memang ngumpul di gerbong wanita itu? Atau karena "sesuatu" orang-orang di gerbong itu jadi egois sih?

Misteri...
Saya belum dapat jawabannya sampai sekarang.

Sabtu, 29 Juni 2019

Pengalaman Menginap di Hotel Neo+ Green Savana, Sentul City

Sentul City atau yang sering disebut Sentul, termasuk kawasan di kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang terus berkembang. Perumahan, penginapan hingga tempat wisata dan hiburan banyak dibangun di daerah yang berjarak kurang dari 1 jam dari Jakarta ini.

Wilayahnya yang berbukit dan bercurah hujan tinggi membuat hawa Sentul sejuk, sehingga nyaman untuk liburan bersama keluarga atau sekolah. Tercatat di kawasan ini ada tempat rekreasi Jungle Land, Taman Budaya, Eco Park, air terjun Bidadari, Curug Kencana, hutan pinus & pemandian air panas Gunung Pancar, wisata alam Fantasia, Kampung Agrowisata, dll. Ini tempat-tempat wisatanya di seputaran Sentul aja dan gak kena macet jalan raya. Jadi recommended lah tuk alternatif berakhir pekan atau liburan.



Ceritanya, awal liburan sekolah yang lalu, saya dan keluarga berlibur di Sentul. H-10 cari-cari hotel di Traveloka dan aplikasi tiket hotel lainnya ternyata hotel yang diincar sudah penuh. Yang diincar gak aneh-aneh sih, syaratnya cuma ada kolam renangnya, berhubung bawa bocah-bocah yang demen main air hehehe... dan tentunya masuk dalam budget.

Yang bikin mupeng dari gambarnya di aplikasi tiket hotel, salah satunya adalah hotel Neo+ Green Savana. Hotel Neo dikenal sebagai penginapan budget-nya Aston International karena mereka dalam naungan Aston. Saya pernah menginap di salah satu Hotel Neo di Cirebon. Hotel di sana berkonsep minimalis namun rapi dan nyaman untuk menginap. Neo+ Green Savana Sentul City itu di gambar fotonya punya kamar yang langsung di depan pool. Menarik hati sekali, tapi sayang pada tanggal yang direncanakan ke sana tidak tersedia 3 kamar seperti yang akan dipesan.

Booking Neo+ Green Savana Sentul City via Website-nya

Seperti biasanya, jika saya tidak dapat kamar dari aplikasi tiket hotel, saya akan telepon langsung ke hotelnya. Ini untuk memastikan saja apakah kamarnya benar-benar full book atau tidak. Pantang menyerah ceritanya hehe. Dan, alhamdulilah masih rejeki. Saat saya telepon ke resepsionis, pada tanggal yang direncanakan akan menginap, masih tersedia kamar. Yeay! Saya disarankan memesan lewat website-nya langsung, karena jika booking lewat resepsionis diharuskan langsung membayar uang muka saat memesan.

Wah oke banget ya sarannya. Cuss saya langsung ke website pemesanan Hotel Neo Green Savana. Ada 4 macam room yang ditawarkan : standard room, standard room pool access, standard room pool level, dan suit room. Masing-masing kamar dapat dihuni maksimal 3 orang. Sesuai rencana, saya booking 3 room pool access: 2 room berisi 3 orang, 1 room berisi 2 orang. Tarifnya ternyata berbeda sedikit, untuk yang isi 3 orang Rp862.973/malam, isi 2 orang Rp814.573/malam. Harga sudah include tax, free breakfast dan free cancellation hingga H-4 (harga per 23 Juni 2019).

Review Hotel Neo+ Green Savana Sentul City

Saya kurang paham kenapa di hotel Neo yang ini diberi tanda plus (+). Mungkin karena konsepnya beda dengan hotel  Neo lainnya. Neo+ Green Savana Sentul City, sesuai namanya memang didesain green concept. Banyak tanaman hijau dan area hijau di sekelilingnya. Segeerr... Tempat parkirnya luas, dan bisa untuk jogging pagi hari.

Halaman dan parkiran

Awalnya saya pikir hotel bintang 3+ ini tinggi. Ternyata hanya 2 lantai di sisi sebelah kanan, dan 1 lantai di sisi kirinya. Lalu kolam renang terletak di tengah-tengah. Keseluruhan kamarnya hanya 70 kamar.

Kolam renang depan kamar
Sepi kalau di bawah jam 7.30

Tiga kamar yang dipesan adalah 108, 110 dan 111. Untuk yang 110 (double bed) dan 111 (twin bed)  adalah connecting rooms, ada pintu pembatas yang dapat dibuka. Terasnya cukup luas, ada kursi panjang dan meja kecil, asik untuk duduk-duduk manis sambil ngopi.

Ruang kamarnya luas,  ada lemari pakaian gantung, kulkas kecil dan meja kursi. Tempat tidurnya pun cukup besar dan nyaman untuk ditiduri bertiga dengan anak. Akses ke pool benar-benar pemandangan yang menyegarkan... Bikin pingin nyebur terus serasa kolam pribadi. Apalagi di depan kamar, disediakan kursi pinggir kolam untuk bersantai.

Standard room pool access

Teras depan kamar

Ada televisi dengan beragam channel berlangganan di kamar. Sementara Wi-Fi gratisnya kenceng. Dijamin gak akan mati gaya, baik di dalam maupun luar kamar.

Toiletnya cukup besar dan bersih, dipisahkan antar area wastafel yang kering, area mandi (shower) dan kloset. Ada pemanas airnya, serta dilengkapi dengan hair dryer. Sayangnya pintu toilet di kamar 111 tidak bisa tertutup rapat maupun dikunci. Tapi ini tidak terlalu masalah.

Saya dan keluarga menginap 3 hari 2 malam di hotel ini. Secara umum breakfast-nya lumayan. Masakan Indonesia dan Western disediakan, dan rasanya enak. Cuma mungkin perlu lebih banyak variasi dari hari ke hari agar tidak bosan.

Ruang makan/resto

Untuk makan siang dan malam, tidak jauh dari hotel ada kawasan Taman Budaya yang menyediakan restoran dan counter makanan/minuman. Keluar sedikit dari hotel juga bisa ketemu Indomaret, rumah makan dan Ah Poong yang lengkap dengan aneka kulinernya dan buka hingga malam. Jadi, tidak sulit untuk cari makanan saat menginap di hotel ini.

Puas Berenang dan Bermain di Neo+ Green Savana Sentul City

Berhubung kamarnya langsung akses ke pool, sudah pasti kegiatan utama kami adalah berenang. Anak-anak puas banget bolak balik renang di sini, baik benar-benar berenang maupun main air, sampai main bola segala di kolam renang hehe.

Selain kolam 1,2 meter, kolam renangnya ada yang khusus anak juga, lengkap dengan playgrond-nya, cocok tuk keluarga yang bawa balita.

Selain renang, kegiatan lain yang bisa dilakukan di seputaran hotel banyak juga. Pagi hari, anak-anak saya sewa sepeda yang memang disediakan hotel. Tarifnya 40 ribu per jam, bisa puas olahraga sepedaan keliling hotel. Main bola di lapangan hijau yang luas bisa juga lho... Tapi bawa bola sendiri ya.

Hotel Neo+ Green Savana Sentul City juga terhubung dengan Taman Budaya Sentul City. Jalan kaki 3 menit aja langsung sampai. Di tempat ini ada beberapa wahana permainan outbound. Flying fox, panahan dan shooting target adalah permainan yang dicoba. Tarifnya Rp 30-40 ribuan. Mainan cowok banget yaa, hehe.. maklum anak saya jagoan semua. Tapi anak cewek juga bisa main kok kalau berminat. Orang dewasa pun seru main bareng anak-anaknya. Ada juga wahana high rope (memanjat dan meniti tali), serta trampolin, becak mini dan kuda poni yang cuma dibuka saat weekend.
Flying fox dan Panahan

Kalau mau atraksi or wahana yang lebih banyak ya ke Jungleland atau tempat wisata lainnya yang sudah disebutkan di atas.

So, secara umum penilaian saya tentang hotel Neo+ Green Savana di Sentul, cukup oke untuk liburan. Hanya terganjal saat check-in, yang baru bisa masuk kamar pukul 15.30 karena baru beres dibersihkan, padahal saya dan keluarga datang pas jam check-in pukul 14.00.

Untuk next serta tips untuk yang mau menginap di sini dan booking lebih dari 1 kamar, mungkin perlu konfirmasi kedatangan (ulang) lewat telepon sebelumnya ya, agar kamarnya segera disiapkan.

Minggu, 26 Mei 2019

Setelah MRT, Coming Soon LRT

Setiap kali melewati tol Jagorawi, mulai dari Cibubur hingga Lebak Bulus, tampak pembangunan jalur LRT (light rail transit) di sepanjang jalan bebas hambatan itu. Begitu juga saat berkendara via tol ke arah Bekasi. Jalur layang beton itu sudah terlihat mengular.

LRT sudah sejak lama jadi andalan model transportasi publik di negara tetangga Malaysia dan Singapura. Sedangkan di Indonesia, kereta jenis ini masih dalam tahap pembangunan, menyusul MRT (mass rapid transit) yang sudah launching di ibukota pada Maret yang lalu.

KRL (kereta listrik) mungkin cikal bakal moda transportasi kereta modern di Indonesia.

Beroperasi sejak zaman dulu, saya sudah menikmati angkutan KRL sejak awal kuliah tahun 1995 (ups, ketahuan deh angkatannya.. haha). Saya juga jadi saksi perubahan signifikan yang terjadi pada angkutan ini, dari yang karcisnya harus dibolongi sampai kartu magnetik tap. Dari kereta ekonomi berjejal campur pedagang dan pengemis, sampai commuter line ber-AC. Anyway sampai saat ini, penghubung Jabodetabek tercepat dan termurah, ya KRL.

Melihat Precast Plant (pabrik beton) LRT yang tampak jelas di pinggir tol Sentul, serta rel-rel beton yang melayang di sepanjang jalan tol, bikin saya membayangkan seandainya kereta itu sudah lalu lalang di sana. Informasi dari web lrtjadebek.com, per 3 Mei 2019, pembangunan LRT Jabodebek Tahap 1 baru mencapai 61,95%. Sementara Kompas.com melansir, pembangunan jalur Cibubur-Baranangsiang (Bogor) akan dilaksanakan tahun 2020. Targetnya, jalur Jabodebek akan rampung dan efektif beroperasi tahun 2021. Hmmm 2 tahunan lagi. Sabaar... Sedikit ngiri aja sih sama Palembang yang sudah punya LRT sejak Juli 2018.

Untuk dalam kota saja, LRT Jakarta sudah melakukan uji coba, seperti  rute Rawamangun - Kelapa Gading pada 15 Agustus 2018. Btw, uji coba publik rute ini akan diulang pada 11 Juni 2019 mendatang. Ayo ayo... Yang mau nyobain transportasi modern ini segera daftar ya, di situs www.lrtjakarta.co.id.

Pembangunan Jalur LRT
Gambar : www.lrtjabodebek.com

MRT vs LRT

Saya sempat mencicipi MRT saat uji coba publik April 2019 yang lalu. Tidak terlalu penasaran karena kereta ini hanya ada di dalam kota Jakarta. Artinya, saya yang tinggal di Bogor tidak terlalu memerlukannya. Saat ini MRT memang dikhususkan sebagai sarana transportasi Jakarta untuk mengurangi kemacetan di ibukota.



Kesan naik MRT kala uji coba itu, saya bandingkan dengan KRL. Laju MRT terasa lebih cepat, lebih sunyi (tidak seberisik KRL saat melewati rel besinya), lebih sedikit/halus goncangannya, dan lebih kecil space gerbongnya. Yang juga terlihat berbeda adalah stasiun-stasiun MRT yang tampak kekinian serasa di luar negeri.



Berbeda dengan KRL, jenis kereta MRT dan LRT beroperasi tanpa masinis loh, alias otomatis dengan kendali dari operation center. Wahh, canggih ya!

Lalu apa bedanya MRT dengan LRT?  Bisa dicek di tabel berikut ya. Ternyata MRT lebih cepat lajunya.


Catatan: kabarnya jalur LRT ke arah Bogor akan dibangun menapak di tanah, alias tak melayang. Yahh.. kurang seru deh, jadi gak jauh beda dengan KRL hehehe. Tapi mungkin sensasinya tetap beda ya, mengingat LRT ini gerbong pendek dan jalan tanpa masinis.

Saya belum pernah ikut uji coba LRT, tapi kereta jenis ini long time ago pernah saya naiki di negeri Jiran Malaysia. Lihat bentuknya sih sama persis. Di Malaysia, LRT terhubung dengan bandara, terminal bis, mal, apartemen atau perkantoran. Jadi beneran gak butuh mobil kalau mau ke mana-mana. Hanya LRT dan jalan kaki! Kebayang kalau suatu ketika kota-kota besar di Indonesia seperti itu? Bakal nyaman dan tentram yaa

Dan dengan pembangunan sarana transportasi keren semacam ini, harapan utamanya sih tetep: semoga tarifnya terjangkau semua kalangan. Sepakat?! 😉

Minggu, 21 April 2019

Ini Loh Rekomendasi Dokter THT Oke di Jakarta (Bag. 2)

Ini lanjutan posting sebelumnya mengenai pengalaman ke dokter THT. Berhubung ceritanya kepanjangan, jadi dibikin part 1 dan part 2. Yang belum baca cerita awal perburuan dokter THT, karena saya takut operasi polip, cuss baca dulu di postingan sebelumnya ya. 

Peralatan THT Lengkap di RS THT Proklamasi

Setelah Prof. Zainul menyatakan bahwa Zia tidak perlu operasi polip, maka Zia diminta tes THT dan pendengaran untuk memastikan bahwa telinganya benar baik-baik saja. Saya nurut aja apa kata Prof Zainul karena saya ingin tuntas beres hari itu juga. 

Zia dibaringkan di ruang pemeriksa dokter lalu dicek dengan alat THT di sana, mulai dari alat yang biasa ada di rumah sakit umum sampai alat periksa yang baru saya kenal, semacam garputala yang ada suaranya didengungkan ke telinga, dll.


Pemeriksaan di Poli

Beres pemeriksaan di Poli itu, lanjut tes pendengaran, yang dilakukan di ruangan berbeda. Prof. Zainul membuat surat pengantar untuk pemeriksaan di ruang Audiologi di lantai 3 RS THT Proklamasi itu.
Surat Pengantar Tes Pendengaran

Masuk ke ruangan sana kami diantar oleh Satpam jaga, karena hanya dia yang mempunyai akses masuk ke ruangan di lantai tersebut (selain paramedis mungkin). Jadi, tidak sembarang orang bisa lalu lalang. Ruangannya saat itu sunyi sepi dan lorong di lantai ini terlihat makin persis dengan lorong hotel. 

Di ruang Audiologi yang berukuran sekitar 3 m x 1.5 m ada seorang perawat/terapis duduk, dan berbagai macam headphone tampak tergantung di dinding. Seumur-umur baru kali itu saya masuk ruang semacam itu.


Ruang Audiologi

Si pasien disuruh duduk dan dipasangkan salah satu headphone. Lalu dites mengulang kata-kata yang terdengar. Beberapa kali Zia dikoreksi kesalahannya. Menurut Zia, kata-kata yang diperdengarkan itu kadang  mendekat kadang menjauh, sehingga bisa terdengar jelas, bisa juga kurang jelas. Mas perawatnya memperhatikan Zia bicara sambil bikin titik-titik dan catatan pada grafik di kertas.

Singkat cerita, setelah pemeriksaan pendengaran selesai, kami kembali ke ruang poli konsul dokter di lantai satu. Komentar Prof. Zainul setelah membaca hasil pemeriksaan itu,: "Yak masih normal semua. Saya kasih obat aja. Kalau mau bukti lagi apakah masih ada polipnya, nanti seminggu lagi rontgen lagi aja".

Wadaw.. professor ini menenangkan hati sekali... tak sia-sia saya kemari. Alhamdulillah. Cuss ah pulang, tiba-tiba perut baru terasa lapar minta diisi. Hehehe... gak kerasa sih kami telah 3 jam lebih di rumah sakit itu. Tinggal ke kasir dan apotik untuk menebus obat, saya pun melenggang dengan ceria, membawa oleh-oleh grafik hasil pemeriksaan audiometri untuk dibawa pulang. Dan di perjalanan pulang, Zia berkomentar : "Bunda ngapain sih periksa macem-macem jauh-jauh gini... Kan aku sehat-sehat ajaa". Ihiks...

Biaya Pemeriksaan di RS THT Proklamasi


Sooo, udah jelas deh ya, rekomendasi dokter THT oke di Jakarta, salah satunya Prof. Zainul A. Djaafar, Sp.THT-KL yang baik hati ini. Yuhuu biayanya berapa untuk mendapatkan ketenangan hati itu? Pasti pada pingin tau kan? Hihihi. Siap-siap aja, ada rupa ada harga. Hehe... Alhamdulillah saya dan anak-anak saya ter-cover asuransi, salah satu  providernya Ad Medika, jadi saya tidak terlalu memikirkan biaya dari awalnya. Tapi saya tetap bawa persiapan dana untuk jaga-jaga jika pemeriksaan di sana tidak di-cover.

Nah, dengan perlengkapan THT yang sedemikian komplit, biaya pemeriksaan di RS THT Proklamasi juga mantap. Di kuitansinya tertera sbb.:
  • Pemeriksaan Poli : Rp250.000
  • Audiometri Nada Murni : Rp100.000
  • Audiometri Tutur : Rp100.000
  • Timpanometri : Rp100.000
  • Tindakan Dokter : Rp350.000
  • Mikroskop Poli : Rp125.000
  • Biaya Obat : Rp384.295
  • Kartu Pasien & Administrasi (pasien baru) : Rp50.000
  • Biaya Materai : Rp6.000
Jadi, totalnya Rp 1.465.295 😁 (per Februari 2019).

Hmmm... Alamat limit asuransi yang terbatas itu jadi  menipis.  Ah sudahlah yang penting happy karena tidak ada tindakan operasi. Titik.

Itu sekelumit kisah pencarian dokter THT ter - oke. Pelajarannya, jangan percaya dengan satu diagnosa dokter aja. Apalagi kalau bikin gelisah.

Ada yang punya pengalaman tentang sakit polip / sinus? Share di komentar yaa.

Jumat, 29 Maret 2019

Ini Loh Rekomendasi Dokter THT Oke di Jakarta (Bag. 1)


Nikmat sehat memang rejeki paling berharga. Karena kalau sudah sakit, yang ada semua merana. Ya fisik, emosi, juga dompet. Meski ditanggung asuransi kesehatan pun, kadang ada aja biaya yang harus dikeluarkan saat pengobatan.

Dan yang paling saya takutkan di kala sakit adalah saat mendengar kata “operasi”. Membayangkan jaringan tubuh di-belek meski untuk mengobati penyakit, rasanya perih ngiluu...! Padahal sekarang zamannya operasi minimal invasif ya, alias operasi dengan sayatan kecil aja. Tapi kedengarannya tetep mengerikan (buat Cemil).

Alhamdulillaah jadi ibu dari 2 jagoans, saya melahirkan normal, dan sampai saat ini tak pernah didiagnosa penyakit yang memerlukan penanganan operasi. Doain sehat terus yaa pemirsah.. Aamiin.

Rekomendasi-dokter-tht-jakarta


Ke Dokter THT

Eng ing eng... Kabar kurang baik malah datang dari salah satu jagoan Cemil nih. Cerita awalnya, si sulung Zia, yang saat ini kelas VII SMP, merasa agak kurang dengar. Dugaan saya, paling karena banyak kotoran di telinganya. Pergilah kita ke dokter THT di RS terdekat dengan rumah, BMC Mayapada, Bogor. Dokter spesialis THT di RS swasta ini ada 2 orang, dan ada 1 dokter yang dituju karena baik dan kami merasa cocok.

Singkat cerita, setelah dibersihkan telinganya, sang dokter bilang, sepertinya ada radang. Maka Zia dirujuk untuk melakukan Rontgen THT. Yaa.. sekalian aja deh mumpung di RS, hari itu juga rontgen dan konsultasi supaya tuntas. Hasil rontgen dijabarkan lagi oleh sang dokter : ada bayangan putih di rongga sinus sebelah kanan, yang harusnya bersih seperti yang kiri. Dan diagnosa yang diterangkan adalah Sinus Maxilaris plus Polip! Pengobatannya yang disarankan adalah operasi! Yang membuatnya harus operasi menurut dokter adalah adanya "kesan kista" pada hasil rontgen. Yaa Allah, mau bersihin kotoran kuping, kenapa berujung harus operasi yak?


Gambaran sinus maksilaris
(Pict: tempo.co)

Saya melongo bin lemes. Ini anak gak ada panas, gak ada sakit, Cuma kurang denger doang.. disuruh operasi. Saya pastikan ke dokternya, apakah bisa dengan obat atau terapi saja? Jawabnya: tidak untuk jangka panjang. Obat-obat hanya bisa meringankan sakit, tidak menghilangkan, kata dokter. Jalan pengobatan tuntas, ya dengan operasi….. Gubrak! Tiba-tiba teringat seorang teman yang beberapa kali operasi sinus karena selalu kambuh. Duh. Saya yakinkan lagi, apakah dengan operasi pasti tidak akan kambuh lagi? Menurut dokter, jika ditangani masih seusia Zia (13 tahun) kemungkinan kambuh lagi kecil, alias hampir pasti sembuh total. 

Polip hidung

Dokter tak memaksa segera dilakukan operasi, tapi tindakan itu disarankan. "Kasihan kalau gak dioperasi, bakal terus menderita dia", katanya. Sementara, pak Dokter memberi resep obat dulu, sambil memberi waktu saya untuk berfikir soal operasi.

Sampai rumah saya cerita dengan keluarga, dan kegalauan melanda. Antara mengikuti anjuran dokter, cari pengobatan alternatif, atau cari second opinion. Keluarga sibuk mikir, anaknya mah bebas as always, gak kayak orang sakit. Huahua..

Hunting Dokter THT di Jakarta


Setelah seminggu berlalu Zia makan obat dokter, katanya telinganya "agak mendingan". Kata agak mendingan itu bikin cemas juga, karena berarti belum tuntas sehat/normal. Atas masukan dari kerabat dan rekan, maka diputuskan Zia diperiksakan ke dokter lain untuk mencari opini kedua.

Berhubung Spesialis THT ngetop banyak berada di Jakarta, maka perburuan dokter THT pun menyasar ke Jakarta. Saya gak mau ke dokter THT yang asal ngetop saja, melainkan yang juga menenangkan. Weits, ini sebenernya sih cari opini yang kontra operasi ya heheh. Tapi saya dan keluarga pasrah aja jika memang operasi jalan satu-satunya, tentu dengan alasan yang lebih meyakinkan.

Hunting dokter THT untuk second opini ini, selain dengan bertanya-tanya kepada yang punya pengalaman penyakit yang sama, juga dengan browsing di dunia maya. Dan setelah melalui serangkaian penelitian kualitatif dan kuantitatif (taelah), kesimpulannya kami akan konsultasi ke Prof. Dr. Zainul A. Djaafar, Sp.THT-KL (K), di RS Khusus THT-Bedah KL Proklamasi, di Jakarta Pusat. Profesor ini salah satu pendiri rumah sakit khusus THT tersebut. Ada banyak dokter recommended di sana, saya pilih Prof. Zainul karena beliau juga praktik di hari Sabtu. Hari Sabtu saya leluasa untuk mengantar Zia karena libur kerja.

Saya kirim pesan WhatsApp ke nomor WA RS nya H-1 untuk pendaftaran, tapi pendaftaran via WA ini hanya dicatat saja. Nomor antrian akan diberikan per kedatangan.

Ke RS THT Proklamasi


Hari Sabtu perjanjian konsultasi itu saya berdua Zia ke RS THT Proklamasi. Karena anaknya segar bugar bak pendekar, kami santai naik KRL Commuteline dari Bogor, turun di Cikini, lalu sambung naik ojek online ke lokasi, yang tidak sampai 5 menit jaraknya dari stasiun Cikini. Ah moda transportasi yang mudah dan nyaman gini memang yang dibutuhkan masyarakat.

Saya baru pertama kali menginjakkan kaki di RS THT Proklamasi itu. Gedungnya tampak tidak terlalu besar dari depan, dan lahan parkirnya terbatas. Masuk ke lobi RS, di sebelah kanan langsung tampak apotik dan loket kasir. Lurus ke depan terlihat beberapa kursi tunggu, loket pendaftaran dan lorong ruang periksa.

Loket Pendaftaran

Ambil nomor di mesin nomor, saya menunggu nomor antrian muncul di layar pemanggil. Mungkin karena saat itu masih pagi, tidak terlalu banyak yang antri. Nomor antrian saya pun tak lama dipanggil. Proses pendaftaran pasien baru sampai mendapat kartu pasien juga tidak lama, kurang dari 15 menit.

Lorong tunggu depan ruang periksa

Lalu kami dipersilakan masuk ke ruang tunggu yang cukup nyaman. Ada beberapa deret kursi dengan televisi di dinding. Atau bisa juga memilih duduk di beberapa kursi yang ada di lorong. Lorongnya semacam lorong hotel dengan deretan kamar, namun lebih sempit. Sekitar 30 menit kemudian Profesor yang ditunggu pun tiba. Zia dipanggil masuk nomor 3. Sang prof terlihat masih sehat meski rambutnya memutih. Beliau menanyakan detil maksud konsultasi kami.

Saya sodorkan hasil Rontgen dan cerita diagnosa dokter sebelumnya sampai pada saran dokter untuk operasi. Jujur saya dag-dig-dug akan kesimpulan profesor di hadapan saya. Setelah mengamati gambar Rontgen dan mendengarkan cerita saya, prof. Zainul pun bicara: "Kalau menurut saya, ini bukan khas kista ya, hanya kesan aja. Jadi tidak perlu operasi."

Antara bersyukur dan tidak percaya, tapi hati jelas girang lah.. Yang terucap dari mulut saya : "Alhamdulillaah.. Yakin prof, gak perlu operasi?" Ekspresi prof. Zainul kelihatan tanpa ada keraguan: "Iya, dari penampakan fisik dan Rontgen saya lihat gak perlu operasi. Untuk lebih yakinnya, kita cek semua aja ya, termasuk pendengarannya." 

-To Be Continued...
Lanjut ke Bagian 2

Minggu, 10 September 2017

Kuliner Asyik, Web Referensi Kuliner yang Asyik

Kuliner adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan makanan atau masakan,  diambil dari kata bahasa Inggris Culinary. Rasanya hampir tidak ada orang yang tidak suka makan yaa.. kecuali sedang sakit dan nafsu makannya menurun.

Sementara itu perkembangan kuliner di Indonesia begitu pesat, dimulai dari aneka jajanan khas daerah, lalu munculnya resto dan cafe modern, hingga kue kekinian yang semakin menjamur... Hingga muncul istilah "wisata kuliner". Padahal zaman dulu yang namanya wisata ya wisata aja alias bepergian, piknik atau bertamasya ke suatu obyek wisata berupa alam, tempat atau peninggalan bersejarah.


Nah berdasarkan latar belakang dan perkembangan itu, saya dan teman-teman iseng tapi serius menggarap Kuliner Asyik, website kuliner untuk referensi khalayak umum. Kuliner Asyik sendiri adalah singkatan dari Kumpulan Inspirasi dan Cerita Asyik tentang Kuliner. Dari situ bisa ditebak kan isi webnya adalah cerita yang asyik-asyik tentang kuliner.
Website Kuliner Asyik terdiri dari beberapa kategori yaitu, Resep Asyik, Review Asyik, Resto Asyik, Tips Asyik dan Event Asyik. Coba aja klik kulinerasyik.com. Bisa dilihat isi masing-masing kategori tersebut.

Pada kategori Resep Asyik, menurut saya paling seru, karena menampilkan resep-resep praktis maupun rumit yang dibuat sendiri maupun recook oleh tim Kuliner Asyik. Gak nyangka campur bangga deh punya temen-temen seperti mereka yang mau berkutat di dapur lalu cekrak cekrek foto dan membagikan resep masakannya. Hasilnya? Jangan ditanya.. keren dan asyik pastinya. Pantas banget mejeng di website referensi.


Tapi si Cemil nih gak pernah nyumbang resep di web yang usianya hampir 2 bulan ini. Ketauan deh gak pernah masak. Eits tapi jangan salah.. Cemil malah paling sibuk di antara yang lain. So bukan gak bisa masak ya, hanya tak sempat. Wkwkwk.. #alasan. Ya sudahlah gak usah bahas lebih lanjut tantang ini yaa 🤗

Btw, Kuliner Asyik juga menerima kontributor loh dari luar tim. Jadi, pembaca yang mau ikutan nyumbang resep, review, tips, atau infonya monggo.. dipersilakan mengirimkan foto dan tulisannya ke redaksi Kuliner Asyik. Bantu kami juga yaa dengan kasih saran atau masukan apapun supaya website berkembang lebih berkualitas dan bermanfaat.

Yuk marii.. baca terus Kuliner Asyik untuk referensi kuliner.

Kamis, 09 Maret 2017

Alat Transportasi Indonesia, dari yang Alon-Alon sampai Super Cepat

Sebutkan alat-alat transportasi di Indonesia! Hehehe itu pelajaran anak saya waktu kelas 2 SD. Iseng ah pingin nulis tentang alat transportasi ini berhubung saya pengguna setia sekaligus pengamat. Ciaat..

Saya pernah baca blog salah satu traveler Indonesia yang bercerita pengalamannya naik shinkansen di Jepang. Ceritanya dia kagum banget dengan kereta listrik cepat itu, dan katanya kalau jam-jam sibuk, itu full banget sampai gak bisa gerak. Cerita tentang shinkansen semacam ini rasanya serupa deh dengan kereta listrik (KRL) Commuter Line di Indonesia. Nah traveler itu tahu gak ya, kalau KRL di Indonesia juga asalnya dari Jepang? Hehehe... Menurut saya nih, dari penuturan ceritanya, terkesan si traveler ini tak pernah naik kendaraan umum di negeri sendiri.

Jadi begitu ya, masih banyak warga Indonesia, kalau di negara orang mau mencoba dan bahkan bangga naik kendaraan umum, tapi di tanah air sendiri mereka memilih naik kendaraan pribadi (eh ini penilaian saya sendiri ya, bukan hasil riset).

Hmm... Lalu saya merasa bersyukur. Bersyukur karena terlahir di keluarga yang cukupan saja, sehingga orangtua membiasakan anak-anaknya naik kendaraan umum meskipun punya kendaraan pribadi. Bersyukur juga saya lahir dan besar di Bogor, serta kerja di Jakarta sehingga saya harus ngelaju (pulang pergi) dengan kendaraan umum yang mana di ibukota tercinta itu semua macam alat transportasi tersedia. Alhamdulillah, hampir semua alat transportasi sudah pernah saya naiki.

Itu cerita intermezzo ;)

Yuk sekarang kita tengok macam-macam alat transportasi publik alias kendaraan umum yang ada di Indonesia. Hayoo.. berapa banyak alat transportasi yang pernah kamu coba?


A. Transportasi Darat

1. Sepeda
2. Becak, Bentor (becak motor)
3. Delman
4. Bajaj, bemo
5. Ojek motor : offline dan online
6. Angkot (angkutan kota)
7. Mobil : taksi, sewa offline dan online
8. Bus : bus kota, bus AKAP, bus trans (Trans Jakarta, Trans Jogja, dll)
9. Kereta listrik - Commuter Line
10. Kereta diesel (kereta jarak jauh)
11.Coming soon : LRT/monorel

B. Transportasi Air/Laut

1. Getek/rakit
2. Kano
3. Perahu/sampan
4. Perahu motor
5. Kapal feri
6. Kapal laut
7. Kapal pesiar

C. Transportasi Udara

1. Pesawat terbang : kecil, besar
2. Helikopter
3. Private jet

Kalau ada pembaca yang mau menambahi silakan ya di kolom komentar, terutama untuk transportasi di luar Jawa yang mungkin saya gak tahu.

Setelah menggunakan, merasakan, mengamati transportasi publik di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, menurut saya sih perkembangannya boleh diacungi jempol ya, terutama transportasi daratnya. Misalnya, sebagai pengguna setia KRL saya merasakan sekali perubahan dari KRL ekonomi yang umpel-umpelan yang tak manusiawi menjadi Commuter Line yang berdesak-desakan tapi wajar. Dari yang karcisnya bentuk kartu kecil untuk di-cetrek-cetrek (dilubangi tanda sudah dipakai) oleh kondektur, berubah menjadi kartu semacam kartu ATM  yang tinggal tap gate masuk/keluar. Ini jadi salah satu bukti bahwa Indonesia termasuk negara berkembang. Kalau di negara-negara maju, lebih keren lagi pastinya. Salah satunya, sistem transportasi darat di negara maju biasanya ada subway atau kereta bawah tanah dengan jenis kereta yang super cepat.

Dan, dari sekian banyak alat transportasi publik di atas, favorit saya adalah ojek motor online, karena praktis dan banyak diskon. Hahaha.. dasar emak-emak efisien! Untuk transportasi yang alon-alon, saya memilih becak, karena bisa sambil melihat pemandangan dan merasakan semilir angin, plus romantis untuk duduk berdua (uhuyy..). Oya saya juga menantikan rampungnya proyek Jakarta LRT (light rail transit), pingin nyobain.. Semoga harga tiketnya nanti ramah di kantong seperti Commuter Line ya ;)  LRT ini kalau di negara tetangga kita sudah sangat terintegrasi sebagai angkutan umum utama sehingga efektif mengurangi lalu lalang kendaraan pribadi di jalan raya alias kemacetan. 

Selasa, 07 Maret 2017

Kenapa Kecoa Diciptakan?

Kecoa. Dengar namanya aja langsung merinding, sambil langsung sikap waspada tengok kanan kiri. Kasihan juga sih, sebenarnya itu makhluk gak musuhin saya, tapi sayalah yang menganggapnya musuh. Tepatnya, alam bawah sadar saya menolak mentah-mentah kehadiran kecoa di lingkungan sekitar. Btw, judul di atas, bukan bermaksud bertanya pada Penciptanya, tapi untuk ngomporin/memprovokasi otak saya sendiri agar berpikir lebih jernih mengenai hewan itu.. (ribet amat yak!)

Saya tidak ingat sejak kapan dan kenapa awalnya saya fobia terhadap hewan kecil berkaki 6 ini, mengingat kedua orang tua saya yang pemberani. Kalau searching penyebab fobia kecoa, kebanyakan menganalisa karena pengalaman traumatis di masa kecil atau masa lalu, yang pernah digigit serangga dan sebagainya. Duh, kok saya tidak pernah merasa punya pengalaman semacam itu ya. Lalu dipikir-pikir (cari kambing hitam ceritanya), sewaktu kecil, kakak-kakak saya selalu ngibrit kalau ada kecoa berkeliaran. Nah sebagai anak bontot tentulah saya ngikut manut kebiasaan yang lebih tua. Hahaha. Yup, kami sekeluarga 4 orang kakak beradik fobia kecoa, sedangkan ibu (usia 77 tahun) sampai sekarang masih jadi pahlawan pemberani pembasmi kecoa.


Lalu kenapa sih hewan kecil itu bisa menakutkan bak raksasa genderuwo, hingga penampakannya bikin jerit-jerit dan spot jantung? Saya sudah banyak juga baca artikel tentang fobia kecoa, tapi ujung-ujungnya hanya ingin fokus membasmi kehadirannya dibandingkan mengobati fobianya. Intinya, sampai tulisan ini di-publish, belum ada perbaikan atas fobia yang saya alami sedari kecil ini (ya iyalah, gak ada usahanya juga.. hmm). Parahnya, anak-anak saya yang jagoan semua, pun jadi ikutan fobia karena melihat kebiasaan saya. Yaa Rabbi, ampuni saya yang membenci makhlukMu yang satu itu :((

Semoga dengan saya menulis tentang monster kecil ini, menjadi terapi bagi saya untuk menghilangkan ketakutan yang serasa tak berujung ini.(berharap banget). Dan… jangan harap ada gambar si coro (nama beken hewan ini) di artikel yang saya tulis, karena untuk melihat gambarnya pun saya tak sanggup.

Fakta Tentang Kecoa, Si Hewan Tangguh

Di bawah ini saya berhasil menghimpun fakta penting banget tentang coro, hasil analisa dan investigasi. Tsaahh..! Dear coro, maaf ya saya mau jujur ngomongin kamu. Bukan gosip lho, tapi fakta. Kamu itu:
  • Bau… punya bau khas yang bikin mual, dan menjijikkan. Mainnya sih di gorong-gorong/selokan.
  • Jalan seenak udelnya aja. Gak bisa ditebak arahnya mau ke mana, gerak cepat. Saya lari kamu malah deketin. Please deh, saya gak ngajak lomba lari kan. Tau kok memang kamu pelari cepat (75 cm per detik..!)
  • Terbang tiba-tiba terus nemplok di orang yang ketakutan. Itu radar antena salah satu fungsinya untuk mendekati orang yang punya aura ketakutan.Huuh.. seneng ya, bikin orang keringet dingin?
  • Kakinya runcing dan tajam. Kalau digerayangin kamu tuh seperti dilewati tusuk gigi berjalan.
  • Punggungnya kuat banget! Semacam perisainya Captain America ya? Harus dipukul sampai hancur baru kamu diem.
  • Punya nyawa banyak kayaknya. Disemprot obat nyamuk masih bisa hidup, cuma mabok doang. Bahkan katanya tanpa kepala kamu bisa hidup? Super sekali… Tapi kamu akan mati jika terlentang ya? Masalahnya bagaimana bisa bikin kamu terlentang? Hiks…
  • Berkembang biak cepat. Jadi kalau satu berhasil dibunuh, gak bisa bikin happy. Wong konon dalam 6 bulan bisa menghasilkan 180-300 coro baru. Gila!
  • Kesuperan yang lainnya (yang bikin takut), tahan radiasi nuklir! Coro bisa tahan hidup pada intensitas radiasi 10 kali yang dapat membunuh manusia.

Hmm.. sepertinya kecoa memang hewan kecil yang tangguh ya. Ada yang mau nambahin fakta seputar coro? Saya tak akan bahas tentang cara mengatasi fobia coro alias kecoa yang disebut juga Katsaridaphobia ini. Sangat banyak pembahasan mengenai hal tersebut yang intinya adalah hypnotherapy dan sepertinya harus ditangani ahlinya. Kalau coba-coba terapi sendiri wallahu alam hasilnya.

Pada akhirnya,​ saya menemukan beberapa hal tentang kebaikan kecoa.
  1. Ini makhluk mengeluarkan gas nitrogen karena hobi memakan makanan yang mengandung nitrogen. Jadi jika populasi coro menurun drastis, maka siklus nitrogen di muka bumi akan terganggu. Siklus nitrogen diperlukan salah satunya untuk hidup tumbuhan, dan tumbuhan merupakan produsen dalam rantai makanan manusia. Jadi rantai panjangnya akan mempengaruhi manusia juga, jika terjadi penurunan kadar nitrogen.
  2. Otak kecoa mengandung antibiotik yang dapat membunuh kuman tanpa merusak sel. Ini masih terus diteliti untuk dijadikan pengobatan.
  3. Kecoa karena kekuatan dan kegesitannya menginspirasi pembuatan robot kecoa yang serupa sifatnya, untuk berbagai keperluan.
MasyaAllah memang pasti lah tak ada yang sia-sia diciptakan Allah.